Monday, November 2, 2009

Menggugat Dehumanisasi Pendidikan

Adanya kegagalan doktrin yang datang dari berbagai aspek dengan semangat meninjau makna pendidikan, doktrin tentang adaptasi, kebutuhan pokok, reformasi sosial, demokrasi, serta datangnya doktrin yang berkesimpulan bahwa kita tidak membutuhkan doktrin apapun, ini menunjukkan bahwasannya kita masih memerlukan penjelasan tentang makna pendidikan.
Pendidikan yang sangat berorientasi kepada perbaikan masyarakat tidak bisa dilaksanakan dengan cara memaksakan suatu pembahasan sosial tertentu baik itu melalui sekolah atau sarana-sarana yang lain. Tapi dalam usaha memaksimalkan perbaikan masyarakat diperlukan perbaikan setiap individu terlebih dahulu. Seperti ungkapan Plato (409-347 SM) “pemerintah mencerminkan sifat manusia. Negara-negara tidak diciptakan dari batu atau kayu tetapi dari karakter-karakter para warganya, orang-orang inilah yang menjadi tolak ukur dan segalanya dinilai berdasarkan hakekat mereka’. Karena individu adalah jantung masyarakat.
Memang pendidikan saat ini seakan-akan tidak sejalan dengan tujuannya, sebagaimana sering digemborkan “pendidikan bertujuan memanusiakan manusia’. Tujuan boleh saja ingin memanusiakan manusia tapi proses yang dilakukan seperti saat ini sungguh tidak mencerminkan individu seorang manusia bahkan sebaliknya, orientasi pekerjaan menjadi dalih terbentuknya manusia sempurna yang nantinya tidak memberi jalan keluar justru akan menjadi penindas orang yang tertindas. Kecenderungan pragmatis diterapkan begitu sempurna untuk mencapai keuntungan pribadi tanpa ada singgungan antara yang lain. Hal seperti ini tidak akan pernah memecahkan permasalahan pendidikan.
Kemajuan suatu Negara amat ditentukan oleh pendidikan serta masyarakat yang baik, oleh karena pentingnya masyarakat yang baik seakan-akan kita diingatkan betapa pentingnya kesadaran setiap masyarakat dalam pembentukan Negara yang baik, Memang pendidikan adalah produk budaya yang diciptakan manusia (baik itu layak atau tidak) tapi budaya yang baik tidak akan pernah tercipta jika kesadaran tiap individu belum sempurna। Maka terciptanya kesadaran individu harus menjadi agenda khusus dalam upaya peningkatan mutu suatu pendidikan agar tidak terjerumus dalam kubangan kebebasan tanpa batas (liberal), pragmatis, modernitas, globalisasi serta lubang konservatif.

Sepintas Tentang Pemikiran Liberal
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages).[1] Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran.
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti berhentinya ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w। 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, pendidikan dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.

Pendidikan Liberal: Tatanan Ideology Sekular
Pendidikan liberal bercirikan keBarat-Baratan,[2] karena memuat anggapan bahwa segala hal harus didiskusikan. Medan yang dimasukinya yaitu kelangsungan dialog yang merupakan sendi-sendi peradaban Barat. Peradaban Barat adalah peradaban dialog itu sendiri. Sebagai peserta dalam percakapan besar yang telah dimulai dari awal mula sejarah, peradaban-peradaban ini memiliki ruang lingkup yang besar dan mulia dalam hal ini. Tapi peradaban Barat adalah yang terbesar dari semuanya.
Peradaban Barat memperhatikan Intelektualitas manusia bukan bagian dari asumsi kehidupan. Namun Barat lebih percaya bahwa “kebebasan” mampu membentuk karakter manusia sejati. Dari sini dapat dilacak keberadan derajat hati seakan tidak begitu mulia, yang lebih mengherankan peradaban Barat menjadikan kebebasan bergerak sebagai kunci utama kemuliaan karena dengannya manusia mampu menemukan apa yang diinginkan tanpa memperdulikan cara memperolehnya.
John Stuart Mill, dalam karyanya, On Liberty, merupakan pertama yang menyadari akan adanya perbedaan antara kebebasan sebagai kebebasan bertindak dan kebebasan sebagai absennya koersi. Dalam bukunya, Two Concepts of Liberty, Isaiah Berlin secara resmi merangkai perbedaan antara dua perspektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif. Penggunaan lain kemudian sebuah kondisi negatif di mana individu dilindungi dari tirani dan arbrituari yang dilakukan oleh otoritas, sementara yang sebelumnya memasukan hak untuk memakai hak sipil.
Gejolak perpolitikan dan kontroversi pendidikan di Amerika pada tahun 1950-an contohnya, telah melejitkan istilah baru yaitu ‘anti intelektualisme’ sebagai akibat dari kebebasan bertindak (kebebasan negative), ini menjadi julukan terpenting dalam proses pertahanan Amerika. Sikap anti intelektualisme jarang ditemukan dalam bentuk murni atau mutlak biasanya sikap seperti ini bermuka dua, seperti langkah adanya sikap mutlak tidak senang kepada intelek dan kaum intelektual, selain itu juga tidak adanya sikap suka terhadap apa yang disebut demikian. Yang dimaksudkan dengan istilah anti intelektual merupakan mereka (orang Amerika waktu itu) yang non-intelektual, mereka bersikap selalu sangsi terhadap intelek dan kaum intelektual, sehingga merasa lebih leluasa berpindah dari tempat X menuju tempat Y, dan begitu juga sebaliknya tanpa keterikatan suatu apapun.
Pendidikan liberal yang selalu berusaha menciptakan krisis kemanusiaan global dilihat dari aspek doktrinasi, tidak bisa lepas dari permasalahan ”pemikiran kaum liberal” yang selalu mendewakan modernitas. Salah satu ciri paham liberal adalah prinsip yang tidak mau disalahkan, misalnya, jika terjadi konflik antara ajaran atau paham islam dan pencapaian modernitas, yang harus dilakukan bukanlah menolak modernitas itu tapi harus menafsirkan kembali ajaran atau paham tersebut.[3] Paham liberal bukan hanya berlaku dalam lingkup agama namun lebih luas dari itu liberal mencoba merusak tatanan ekonomi, pendidikan, social, dll,
Paparan diatas kiranya sesuai dengan apa yang diutarakan oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi tentang akar permasalahan pemikiran Barat sehingga ia mampu masuk kedalam berbagai pokok kehidupan manusia. Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara etimologi berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berlawanan dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi yang menginginkan modernisasi tercipta dimuka bumi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya, istilah modernisasi cenderung digunakan dalam lingkungan pendidikan. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama "demokrasi rakyat", yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktator proletar. (Budiardjo, 1992:89).
Ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan। Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat. Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Agama dari pendidikan. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, pendidikan ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an al-hayah).

Telaah Proses Dehumanusasi Dalam Pendidikan (Krisis Kemanusiaan)
Berbicara tentang keinginan “menjadikan manusia lebih baik”. Kita harus punya gagasan tertentu tentang “apakah manusia itu?”, karena jika kita tidak tahu tentang manusia mana mungkin dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia. Manusia secara alamiah bersifat bebas, dan juga secara alamiah manusia disebut makhluk sosial. Untuk menggunakan kebebasannya secara tepat ia butuh disiplin. Untuk hidup bermasyarakat ia perlu kebajikan-kebajikan moral. Moral yang baik serta kebiasaan intelektual dibutuhkan demi pengembangan hakikat manusia seutuhnya.
Selain itu, jika ingin berbicara tentang perbaikan manusia dan masyarakat, terlebih dahulu harus percaya akan adanya perbedaan antara kebaikan dan keburukan. Tapi perbedaan ini harusnya tidak konvensional seperti perkiraan kaum positifisme (Freire, Menggugat Pendidikan, p. 111). Begitu juga dengan kita yang tidak akan bisa membedakan baik buruk manusia dengan masuk ke laboratorium, karena manusia dan masyarakat bukan binatang percobaan.
Keberadaan manusia di dalam dunia ini dilengkapi dengan dua keadaan. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh; artinya, makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus.manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan pula jasad murni, melainkan makhluk yang secara misterius terdiri dari dua elemen ini, yang biasa kita sebut dengan entitas jati diri. Realitas yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal sebagai manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniaannya. Walaupun diciptakan, ruh manusia itu merupakan sesuatu yang tidak mati dan selalu sadar akan dirinya.
Masih tentang jati diri, Rollo May seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai “manusia dalam kerangkeng”,[4] sebuah kondisi kehidupan tak bermakna (the meaningless life). Fenomena manusia modern semacam ini, digambarkan juga oleh Thomas Robert Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai ‘one dimension man’, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo needs) yang diciptakan oleh ekonomi konsumen dan politik kapitalis. Gejala seperti ini telah menyebar dalam kehidupan manusia dan mengikat manusia secara libidinal. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhannya, manusia semata-mata bersandar pada dorongan nafsu tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma sosial, lebih-lebih norma agama. Dalam keadaan ini manusia kehilangan jati dirinya sebagai makhluk yang mulia.
Sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang demikian bebas adalah lahirnya sebuah komunitas masyarakat yang, oleh Roderic C. Meredith disebut sebagai permissive society (masyarakat serba boleh). Permissive society, lanjut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Dengan kata lain, kita bebas berbuat apa saja, dan tidak ada ruang bagi Tuhan untuk memberikan ancaman ataupun sanksi kepada kita.
Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini pada gilirannya akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan. Setiap hari manusia semakin terseret ke arah pengasingan (alienasi), tidak ada lagi waktu untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, dan kepekaan ruhaniah, bahkan makhluk ini justru tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan, sehingga kerap memicu terjadinya penyelewengan dan pemerosotan nilai-nilai tradisional.
Penurunan kualitas manusia (dehumanisasi) telah mulai dan berawal dari praktek-praktek pendidikan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Saat manusia kehilangan norma kehidupan, moral, serta rasa kepedulian antar sesama disinilah awal mula keberhasilan proses dehumanisasi yang direncanakan oleh kaum Barat. Agama yang dulunya mengajarkan kebaikan dan mendominasi kehidupan, kini menjadi termarjinalkan, sedangkan sains yang dulunya berkedudukan dibawah agama kini menjadi alat ukur kebenaran mutlak.
Dehumanisasi dapat ditafsirkan sebagai akibat kemerosotan tata-nilai. Mereka yang menjadi korban dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan (estetik) dan kesucian. Mereka hanya peka dan menghargai nilai-nilai dasar, seperti materi (pemilikan kekayaan), hedonisme (kenikmatan jasmani) dan gengsi (prestise). Tiga nilai inilah, yaitu materialisme-hedonisme-prestise, yang menjadi dasar dari tata-nilai bagian besar dari masyarakat dewasa ini. Dan karena tidak diikuti oleh nilai-nilai yang lebih tinggi, khususnya nilai kebaikan (etik, moral), dan agama, dalam mendapatkan nilai-nilai dasar itu mereka menghalalkan segala cara. Dengan menampakkan dirinya dalam sifat tanpa malu dan bahkan cenderung membanggakan hasil kejahatan. Semua itu adalah gaya hidup yang sesuai bagi masyarakat dengan tata-nilai rendah sebagai akibat proses dehumanisasi itu.
Proses dehumanisasi sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Max Weber (1864-1920), secara lambat namun pasti, menggerogoti masyarakat itu sendiri. Industrialisasi yang memegang teguh prinsip-prinsip rasionalisasi telah melahirkan disenchantment of the world. Proses lunturnya daya tarik dunia karena semua yang ada dalam kehidupan bumi dapat dihitung secara rasional. Akibatnya, terjadilah penurunan kualitas kehidupan manusia (dehumanisasi), karena segala hal yang tadinya bersifat subjektif dapat diubah menjadi objektif, kualitatif menjadi kuantitatif.
Dengan demikian, tidak ada alternatif lain kecuali ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan mutlak। Sebab, meskipun dehumanisasi merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, dan tetap sebagai suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah (determinisme).

Kebebasan dan Nasib Manusia Modern
Munculnya pendidikan liberal sebagai Paradigma masa kini telah menimbulkan suatu kesadaran, yang mana dengan meminjam istilah Freire (1970) disebut sebagai kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achevement' dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Orientasi kemasyarakatan menjadi prioritas tujuan pendidikan. Namun penilaian mutu pendidikan begitu mudahnya dinilai hanya dengan melihat sisi baik buruknya masyarakat, hal ini akan menghilangkan dan menafikan makna dan tujuan utama pendidikan yaitu adanya dua unsur yang saling berkaitan.[5] Pertama: berorientasi kemasyarakatan, secara umum pedidikan memang berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Pandangan ini juga dianut oleh aliran parenial atau aliran transmisi kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato dan beberapa sarjana modern seperti William T. Hariis, Robert Hurchins,dan Adler di Amerika Serikat, serta oleh aliran rekonstruksi sosial modern. Kedua: lebih cenderung berorientasi kepada individu, yang lebih menfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat belajar. Yang mana hampir semua agama di dunia menganut pandangan yang berorientasi pada individu.salah satu sisi yang menarik perhatian adalah sistem moral yang selalu diupayakan membentuk manusia yang universal (utuh).
Masyarakat sebagai tujuan akhir pendidikan belum mencerminkan usaha mewujudkan manusia yang sempurna, justru dengan tujuan ini akan semakin jauh dari maksud pendidikan. Kebebasan negatif tidak bisa mewakili konsep seperti ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Al-Attas tentang kebebasan.[6] adalah memilih sesuatu yang terbaik yang mana untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, inilah yang dimaksud dengan kebebasan manusia sejati.[7] Selain daripada konsep kebebasan diatas ada kebebasan manusia yang bersifat tidak memaksakan kehendak yang biasa disebut dengan “kebebasan kemauan”,[8] kebebasan ini bermakna bebas untuk memilih tingkahlakunya sendiri terutama kemauan yang positif.
Pada hakekatnya nasib manusia telah ditentukan sejak awal mula diciptakan yaitu potensi primordial yang mensyaratkan dua hal, pertama: potensi yang secara alami terdapat dalam diri manusia melalui proses pendidikan yang efektif dan kreatif, kedua: segala bentuk kemampuan dan ketidakmampuan yang dimiliki manusia semua bisa diperbaiki dan ditingkatkan melalui pendidikan yang efektif dan efesien।

Modernisasi Pendidikan Menuju Peradaban Universal?
Sebagian orang mengatakan bahwa abad ini menjadi saksi lahirnya apa yang oleh V.S.Naipaul disebut “peradaban universal”, sebenarnya apa yang dimaksud dengan bentuk peradaban seperti ini? Ide tersebut mengimplikasikan akan adanya pandangan umum bahwa kehadiran suatu budaya senantiasa tidak dapat lepas dari kemanusiaan dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai, keyakinan, orientasi, perilaku dan institusi oleh umat manusia di seluruh dunia. Secara lebih spesifik, ide tersebut bisa jadi mengandung arti bahwa sesuatu yang sangat penting namun tidak relevan, atau sebaliknya, relevan namun tidak penting.
Ide yang digunakan sebagai doktrin peradaban ini ialah bentuk-bentuk (budaya) Barat dan kebudayaan popular di seluruh dunia yang kemudian menciptakan sebuah peradaban universal.[9] Yang mana esensi dari peradaban barat adalah Magna Carta bukan Magna Mac, kenyataan yang membawa kita kepada kebiasaan bisa dirasakan bahwa orang-orang non barat lebih menerima yang terakhir (peradaban) dari pada yang pertama.
Lalu apa hubungannya peradaban barat yang liberal dengan pendidikan masa kini?. Pengaruh pendidikan liberal (hasil kebudayaan barat) dapat dilihat dalam berbagai aspek pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid, seperti Perankingan untuk menentukan murid terbaik adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Positivisme[10] sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal.
Modernisasi bukan hanya dilakukan oleh pemikir Barat yang sinis terhadap islam. Pemikir dan pembaru muslim yang menyadari bahwa persoalan dasar menimpa umat islam sejak beberapa abad yang lalu yang berkaitan dengan isi dan metode pendidikan yang kabur pada masyarakat. Dalam hal ini reformis muslim modern, menurut Fazlur Rahman, menggunakan dua pendekatan dasar terhadap ilmu pengetahuan Barat modern. Yaitu:
1. Representasi yang dilakukan oleh Namik Kemal dari generasi muda Turki ‘Utsmani, Ibrahim Al-Rawi Al-Rafi’i (tahun 1920). Mereka berpendapat bahwa pencarian ilmu pengetahuan modern harus dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan pragmatis, yang bertolak dari kepercayaan bahwa ilmu-ilmu teoritis akan menyebabkan keraguan terhadap agama di kalangan umat islam.
2. Keseluruhan ilmu pengetahuan modern haruslah diserap oleh umat islam sebab dianggap berguna. Mereka berdalih bahwa pada abad pertengahan umat islam tidak hanya terbiasa mengambil aspek-aspek teknis ilmu asing. Thaha Hussein dari mesir mengatakan, karena dunia arab merupakan bagian dari Barat, ilmu Barat modern harus dianggap dan diterima sebagai bagian dari dirinya.
Pendapat-pendapat diatas tidak sejalan dengan konsep islam. Kita setuju bahwa agama sejalan dengan sains. Namun hal ini tidak berarti bahwa agama sejalan dengan metodologi ilmiah dan filsafat sains modern. Karena tidak ada ilmu yang bebas nilai,[11] kita harus meneliti dan mengkaji dengan cerdas nilai dan penilaian yang melekat pada interpretasi ilmu modern.
Modernisasi pendidikan[12] menjadi tema besar dalam setiap percakapan manusia. Maka dari itu perlu adanya pengkajian khusus tentang apa yang harus dimodernkan dan diubah, serta kearah mana tujuan pendidikan modern itu sendiri. Dengan dalih merubah peradaban manusia saat ini menjadi peradaban yang universal maka semua konsep dirubah sesuai kehendak pemikir Barat sedang kita meniru apa yang telah mereka syaratkan.Kebohongan besar jika kita selalu mengiyakan segala apa yang dituntut modernisasi pengetahuan oleh Barat.
Individuasi[13] : Solusi Untuk Humanisasi
Charles A reich dalam bukunya The Greening of America menyatakan, tiap-tiap orang memiliki individualitasnya sendiri, bukan untuk dibandingkan dengan miliki orang lain. Seseorang mungkin saja menjadi pemikir ulung dan brilian, tetapi ia tidak “lebih baik” dalam berfikir dengan orang lain, karena ia benar-benar memiliki keunggulannya sendiri. Seseorang yang berfikir dengan sangat buruk masih bisa lebih unggul menurut pendapatnya (caranya) sendiri. (Steve M. Chan, p. 59). Dengan statement diatas berarti manusia memang harus menjadi dirinya sendiri bukan meniru untuk menjadi orang lain dengan begitu akan lebih dapat disebut dengan manusia daripada yang tidak menentu kemana arah ia melangkah.
Manusia saat ini sudah mulai kehilangan perasaan dan hati nurani (spiritualitas) nilai-nilai moral dan budi luhur serta ajaran agama juga telah digusur oleh modernisasi, liberalisasi sehingga manusia tidak lagi memiliki landasan dalam hidupnya. Sebagai manusia yang utuh haruslah paham akan dirinya sendiri, menurut Jung proses mewujudkan kepribadian seperti ini secara utuh harus menitik beratkan kesadarannya kepada self (diri sendiri)[14].
Secara terminology, “kesadaran” jiwa (nafs) berasal dari kata “sudr” yang berarti dada atau qalb (hati), yaitu pengetahuan tentang kebenaran,[15] tentang hakekat dirinya dan keberadaannya di muka bumi ini yang hanya dapat disentuh oleh jiwa yang suci. Manusia sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian yang mengatasi atau mentransendir dunia luar dan alam sekitar. Namun, seorang manusia yang merupakan subjek mandiri dan bermartabat dapat mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh nalurinya.
Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia merupakan bentuk unik dimana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya. Refleksi merupakan bentuk dari penggungkapan kesadaran, dimana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan. Setiap teori yang dihasilkan oleh seseorang merupakan refleksi tentang realitas dan manusia. Manusia dalam melahirkan cinta untuk semua merupakan jawaban untuk eksistensi manusia yang membutuhkan rasa dan sayang dari yang lain. Begitupula, tentang kesadaran sangat berkaitan dengan manusia bahkan yang membedakan manusia dengan binatang. (Erich Fromm, The Art of Love)
Manusia hidup didunia hendaknya memikirkan dan merencanakan tujuan yang ingin dicapai kelak. Dalam ungkapan pakar teologis aristoteles (384-322), ia menggunakan kata “entelecheia” (en: dalam diri manusia, telos: tujuan, echeia: memiliki) yang berarti, “didalam diri manusia sendiri terdapat sesuatu yang harus dicapai”, tanpa tujuan manusia akan mudah terombang-ambing oleh arus modernisasi, begitu juga dalam hal pendidikan yang merencanakan untuk mengembalikan kesadaran manusia sebagai batu loncatan dalam menggapai kesadaran total sebagai manusia universal akan memperkecil kemungkinan terjadinya krisis kemanusiaan yang tidak diinginkan.
Orang bijak sebagai acuan kesadaran manusia ialah orang yang memiliki pandangan atau visi intelektual, yang mengetahui dengan baik dasar-dasar maupun puncak dari ilmu pengetahuan. Yang mana dia mampu meneliti dengan cermat prinsip-prinsip pemikiran dan tindakan fundamental dan mempertahankan pandangan tentang dunia, mencakup apa yang akan dan yang seharusnya terjadi. Tingkah laku yang mengarah pada kebijaksanaan di dalam pengertian ini terdapat pada studi tentang analisa-analisa yang tajam serta pandangan (visi) yang hebat, yang biasanya dikaji oleh filsafat. (Steve M. Chan, 2002, p. 23).
Kesadaran manusia akan maksimal dengan adanya proteksi dari hati yang mengontrol tingkah laku. Dalam hal ini ketika manusia bertindak sebenarnya ia berada dalam awasan tuhan, namun dengan adanya keterbatasan manusia tidak merasakannya, sebab inilah manusia belum menyadari untuk apa manusia berada. Menurut Kant[16] manusia tidak akan dapat memahami tuhan dengan akalnya (akal murni menurut istilah Kant), manusia hanya dapat mengetahui tuhan dengan hatinya (akal praktis menurut istilah yang digunakan oleh Kant)।

Penutup
Pada akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan liberal telah menggerogoti sendi-sendi pemikiran manusia. Namun kebebasan dijadikan sebagai dalih keotentikan sifat manusia universal parahnya kebebasan ini adalah kebebasan yang tanpa batas. Hal ini bertolak belakang dengan konsep yang diutarakan oleh Syed Naquib. Hakekatnya manusia dididik untuk menjadi manusia yang utuh atau universal (manusia yang benar-benar pada hakekatnya) yang pastinya memiliki tujuan yang akan dicapai, Manusia hidup bukan untuk mengikuti arus kehidupan tapi harus menciptakan arus yang baik untuk maslahat bersama.
Solusi yang harus dilakukan untuk keluar dari jeratan kebebasan ini tidak lain yaitu “segera sadar” dan bangun dari “ketidaksadaran”, ini merupakan kunci yang harus dipegang setiap manusia yang membutuhkan pendidikan. Tidak ada alasan bagi yang mencoba menghindar dari solusi ini jika benar-benar ingin keluar dari rangkulan liberalisme pendidikan.
Dengan demikian, liberalisasi, globalisasi, modernisasi merupakan doktrin yang selalu diusung oleh pemikir barat harus segera ditolak dengan jalan kembali mencari jati diri sebagai manusia yang benar-benar manusia bukan manusia jasadnya namun rohaninya hilang entah kemana। Wallahu a’lamu bish shawab

Referensi
Al-Jumbulati, Ali, Dkk., Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet. II.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1989.
Djainuri, Achmad, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, Surabaya: Al Ikhlas, 2001.
Freire, Paulo, Dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konserfatif, Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. IV.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Psikologi Dan Pendidikan, Jakarta: Radar Jaya Offset, 1986.
Nor Wan Daud, Wan Mohd., Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Qardlawi, Yusuf, Fiqih Peradaban, Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Surabaya: Danakarya, 1997, Cet. I.
Solihin, Mukhtar, Hakikat Manusia, Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Sukandi, Prof. Dr. Nurcholish Madid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. II.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII.

Footnote
[1] Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages).mereka menyebutnya sebagai “zaman pertengahan” (the medieval ages). Zaman ini dimulai ketika imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya gereja Kristen sebagai institusi yang dominan dalam masyarakat Kristen barat sampai dengan munculnya zaman reneisance sekitar abad ke-14 karena itu mereka menyebut zaman baru dengan istilah “reneisance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekuler Liberal?, (Ponorogo: CIOS, 2007 ,p. 4)
[2] Paulo Freire, Dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, p. 219)
[3] Makalah Luthfie dalam diskusi wacana Islam Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta: Rabo, 21 Februari 2001.
[4] Http://Didijunaedihz.Wordpress.Com/2007/06/21/Solusi-Islam-Atas-Krisis-Kemanusiaan/
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam, Syed Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003, p. 163).
[6] Ibid. p.102
[7] Kebabasan dalam islam terkandung dalam salah satu istilah teologi islam tidaklah sama dengan ide modern. Sebab akar kata ikhtiar adalah khoir atau baik jadi kebebasan sejati dalam islam adalah usaha mencari yang terbaik bagi dirnya bukan bebas tanpa aturan dan tujuan. Kebebasan sejati bisa dicapai manusia ketika telah memperoleh iluminasi spiritual atau gnosis (ma’rifat), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi.
[8] Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi Dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986, p.. 34)
[9] Damuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Polotik Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003, p.79)
[10] Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisme melalui metode determinasi, 'fixed law' atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap 'appropriate' untuk semua fenomena. Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah dengan berpijak pada positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai. Tentang kemodernan suatu ilmu begitu mudah dinilai dari sisi hasil yang didapat tanpa memperhatikan bagaimana proses meraihnya sehingga sikap pragmatis begitu berperan.
[11] Dikatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai (netral) karena ilmu adalahh “sifat manusia”. Segala sesuatu yang berada diluar akal pikiran bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan fakta dan informasi yang kesemuanya adalah objek ilmu pengetahuan. Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit. p. 391
[12] Modernisasi yaitu sebuah istilah yang sesungguhnya sarat akan ide-ide pem-Barat-an yang dikemas dalam semangan nasionalisme, sebuah istilah yang dimaksudkan untuk pembaruan danpembangunan juga revolusi yang bertujuan menggantikan status-quo lama menjadi solidaritas bernegara. (Ibid. p. 113)
[13] Seperti yang diungkapkan oleh Carl G. Jung, Individuasi adalah jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mewujudkan kepribadiannya yang asli. Proses individuasi dapat diterjemahkan sebagai proses menjadi diri sendiri (selbstwerden) atau realisasi diri (selbstveerwirklichung). Mukhtar Solohin, Hakikat Manusia, Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005, p. 39)
[14] Zamzam A. Jamaluddin T, 2000, p. 2
[15] Mukhtar Solohin, Ibid. p.41
[16] Ahmaad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII, p. 7)


0 comments:

  ©Template by Dicas Blogger.