Monday, November 2, 2009

Menggugat Dehumanisasi Pendidikan

Adanya kegagalan doktrin yang datang dari berbagai aspek dengan semangat meninjau makna pendidikan, doktrin tentang adaptasi, kebutuhan pokok, reformasi sosial, demokrasi, serta datangnya doktrin yang berkesimpulan bahwa kita tidak membutuhkan doktrin apapun, ini menunjukkan bahwasannya kita masih memerlukan penjelasan tentang makna pendidikan.
Pendidikan yang sangat berorientasi kepada perbaikan masyarakat tidak bisa dilaksanakan dengan cara memaksakan suatu pembahasan sosial tertentu baik itu melalui sekolah atau sarana-sarana yang lain. Tapi dalam usaha memaksimalkan perbaikan masyarakat diperlukan perbaikan setiap individu terlebih dahulu. Seperti ungkapan Plato (409-347 SM) “pemerintah mencerminkan sifat manusia. Negara-negara tidak diciptakan dari batu atau kayu tetapi dari karakter-karakter para warganya, orang-orang inilah yang menjadi tolak ukur dan segalanya dinilai berdasarkan hakekat mereka’. Karena individu adalah jantung masyarakat.
Memang pendidikan saat ini seakan-akan tidak sejalan dengan tujuannya, sebagaimana sering digemborkan “pendidikan bertujuan memanusiakan manusia’. Tujuan boleh saja ingin memanusiakan manusia tapi proses yang dilakukan seperti saat ini sungguh tidak mencerminkan individu seorang manusia bahkan sebaliknya, orientasi pekerjaan menjadi dalih terbentuknya manusia sempurna yang nantinya tidak memberi jalan keluar justru akan menjadi penindas orang yang tertindas. Kecenderungan pragmatis diterapkan begitu sempurna untuk mencapai keuntungan pribadi tanpa ada singgungan antara yang lain. Hal seperti ini tidak akan pernah memecahkan permasalahan pendidikan.
Kemajuan suatu Negara amat ditentukan oleh pendidikan serta masyarakat yang baik, oleh karena pentingnya masyarakat yang baik seakan-akan kita diingatkan betapa pentingnya kesadaran setiap masyarakat dalam pembentukan Negara yang baik, Memang pendidikan adalah produk budaya yang diciptakan manusia (baik itu layak atau tidak) tapi budaya yang baik tidak akan pernah tercipta jika kesadaran tiap individu belum sempurna। Maka terciptanya kesadaran individu harus menjadi agenda khusus dalam upaya peningkatan mutu suatu pendidikan agar tidak terjerumus dalam kubangan kebebasan tanpa batas (liberal), pragmatis, modernitas, globalisasi serta lubang konservatif.

Sepintas Tentang Pemikiran Liberal
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages).[1] Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran.
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti berhentinya ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w। 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, pendidikan dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.

Pendidikan Liberal: Tatanan Ideology Sekular
Pendidikan liberal bercirikan keBarat-Baratan,[2] karena memuat anggapan bahwa segala hal harus didiskusikan. Medan yang dimasukinya yaitu kelangsungan dialog yang merupakan sendi-sendi peradaban Barat. Peradaban Barat adalah peradaban dialog itu sendiri. Sebagai peserta dalam percakapan besar yang telah dimulai dari awal mula sejarah, peradaban-peradaban ini memiliki ruang lingkup yang besar dan mulia dalam hal ini. Tapi peradaban Barat adalah yang terbesar dari semuanya.
Peradaban Barat memperhatikan Intelektualitas manusia bukan bagian dari asumsi kehidupan. Namun Barat lebih percaya bahwa “kebebasan” mampu membentuk karakter manusia sejati. Dari sini dapat dilacak keberadan derajat hati seakan tidak begitu mulia, yang lebih mengherankan peradaban Barat menjadikan kebebasan bergerak sebagai kunci utama kemuliaan karena dengannya manusia mampu menemukan apa yang diinginkan tanpa memperdulikan cara memperolehnya.
John Stuart Mill, dalam karyanya, On Liberty, merupakan pertama yang menyadari akan adanya perbedaan antara kebebasan sebagai kebebasan bertindak dan kebebasan sebagai absennya koersi. Dalam bukunya, Two Concepts of Liberty, Isaiah Berlin secara resmi merangkai perbedaan antara dua perspektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif. Penggunaan lain kemudian sebuah kondisi negatif di mana individu dilindungi dari tirani dan arbrituari yang dilakukan oleh otoritas, sementara yang sebelumnya memasukan hak untuk memakai hak sipil.
Gejolak perpolitikan dan kontroversi pendidikan di Amerika pada tahun 1950-an contohnya, telah melejitkan istilah baru yaitu ‘anti intelektualisme’ sebagai akibat dari kebebasan bertindak (kebebasan negative), ini menjadi julukan terpenting dalam proses pertahanan Amerika. Sikap anti intelektualisme jarang ditemukan dalam bentuk murni atau mutlak biasanya sikap seperti ini bermuka dua, seperti langkah adanya sikap mutlak tidak senang kepada intelek dan kaum intelektual, selain itu juga tidak adanya sikap suka terhadap apa yang disebut demikian. Yang dimaksudkan dengan istilah anti intelektual merupakan mereka (orang Amerika waktu itu) yang non-intelektual, mereka bersikap selalu sangsi terhadap intelek dan kaum intelektual, sehingga merasa lebih leluasa berpindah dari tempat X menuju tempat Y, dan begitu juga sebaliknya tanpa keterikatan suatu apapun.
Pendidikan liberal yang selalu berusaha menciptakan krisis kemanusiaan global dilihat dari aspek doktrinasi, tidak bisa lepas dari permasalahan ”pemikiran kaum liberal” yang selalu mendewakan modernitas. Salah satu ciri paham liberal adalah prinsip yang tidak mau disalahkan, misalnya, jika terjadi konflik antara ajaran atau paham islam dan pencapaian modernitas, yang harus dilakukan bukanlah menolak modernitas itu tapi harus menafsirkan kembali ajaran atau paham tersebut.[3] Paham liberal bukan hanya berlaku dalam lingkup agama namun lebih luas dari itu liberal mencoba merusak tatanan ekonomi, pendidikan, social, dll,
Paparan diatas kiranya sesuai dengan apa yang diutarakan oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi tentang akar permasalahan pemikiran Barat sehingga ia mampu masuk kedalam berbagai pokok kehidupan manusia. Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara etimologi berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berlawanan dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi yang menginginkan modernisasi tercipta dimuka bumi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya, istilah modernisasi cenderung digunakan dalam lingkungan pendidikan. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama "demokrasi rakyat", yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktator proletar. (Budiardjo, 1992:89).
Ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan। Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat. Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Agama dari pendidikan. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, pendidikan ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an al-hayah).

Telaah Proses Dehumanusasi Dalam Pendidikan (Krisis Kemanusiaan)
Berbicara tentang keinginan “menjadikan manusia lebih baik”. Kita harus punya gagasan tertentu tentang “apakah manusia itu?”, karena jika kita tidak tahu tentang manusia mana mungkin dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia. Manusia secara alamiah bersifat bebas, dan juga secara alamiah manusia disebut makhluk sosial. Untuk menggunakan kebebasannya secara tepat ia butuh disiplin. Untuk hidup bermasyarakat ia perlu kebajikan-kebajikan moral. Moral yang baik serta kebiasaan intelektual dibutuhkan demi pengembangan hakikat manusia seutuhnya.
Selain itu, jika ingin berbicara tentang perbaikan manusia dan masyarakat, terlebih dahulu harus percaya akan adanya perbedaan antara kebaikan dan keburukan. Tapi perbedaan ini harusnya tidak konvensional seperti perkiraan kaum positifisme (Freire, Menggugat Pendidikan, p. 111). Begitu juga dengan kita yang tidak akan bisa membedakan baik buruk manusia dengan masuk ke laboratorium, karena manusia dan masyarakat bukan binatang percobaan.
Keberadaan manusia di dalam dunia ini dilengkapi dengan dua keadaan. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh; artinya, makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus.manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan pula jasad murni, melainkan makhluk yang secara misterius terdiri dari dua elemen ini, yang biasa kita sebut dengan entitas jati diri. Realitas yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal sebagai manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniaannya. Walaupun diciptakan, ruh manusia itu merupakan sesuatu yang tidak mati dan selalu sadar akan dirinya.
Masih tentang jati diri, Rollo May seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai “manusia dalam kerangkeng”,[4] sebuah kondisi kehidupan tak bermakna (the meaningless life). Fenomena manusia modern semacam ini, digambarkan juga oleh Thomas Robert Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai ‘one dimension man’, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo needs) yang diciptakan oleh ekonomi konsumen dan politik kapitalis. Gejala seperti ini telah menyebar dalam kehidupan manusia dan mengikat manusia secara libidinal. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhannya, manusia semata-mata bersandar pada dorongan nafsu tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma sosial, lebih-lebih norma agama. Dalam keadaan ini manusia kehilangan jati dirinya sebagai makhluk yang mulia.
Sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang demikian bebas adalah lahirnya sebuah komunitas masyarakat yang, oleh Roderic C. Meredith disebut sebagai permissive society (masyarakat serba boleh). Permissive society, lanjut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Dengan kata lain, kita bebas berbuat apa saja, dan tidak ada ruang bagi Tuhan untuk memberikan ancaman ataupun sanksi kepada kita.
Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini pada gilirannya akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan. Setiap hari manusia semakin terseret ke arah pengasingan (alienasi), tidak ada lagi waktu untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, dan kepekaan ruhaniah, bahkan makhluk ini justru tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan, sehingga kerap memicu terjadinya penyelewengan dan pemerosotan nilai-nilai tradisional.
Penurunan kualitas manusia (dehumanisasi) telah mulai dan berawal dari praktek-praktek pendidikan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Saat manusia kehilangan norma kehidupan, moral, serta rasa kepedulian antar sesama disinilah awal mula keberhasilan proses dehumanisasi yang direncanakan oleh kaum Barat. Agama yang dulunya mengajarkan kebaikan dan mendominasi kehidupan, kini menjadi termarjinalkan, sedangkan sains yang dulunya berkedudukan dibawah agama kini menjadi alat ukur kebenaran mutlak.
Dehumanisasi dapat ditafsirkan sebagai akibat kemerosotan tata-nilai. Mereka yang menjadi korban dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan (estetik) dan kesucian. Mereka hanya peka dan menghargai nilai-nilai dasar, seperti materi (pemilikan kekayaan), hedonisme (kenikmatan jasmani) dan gengsi (prestise). Tiga nilai inilah, yaitu materialisme-hedonisme-prestise, yang menjadi dasar dari tata-nilai bagian besar dari masyarakat dewasa ini. Dan karena tidak diikuti oleh nilai-nilai yang lebih tinggi, khususnya nilai kebaikan (etik, moral), dan agama, dalam mendapatkan nilai-nilai dasar itu mereka menghalalkan segala cara. Dengan menampakkan dirinya dalam sifat tanpa malu dan bahkan cenderung membanggakan hasil kejahatan. Semua itu adalah gaya hidup yang sesuai bagi masyarakat dengan tata-nilai rendah sebagai akibat proses dehumanisasi itu.
Proses dehumanisasi sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Max Weber (1864-1920), secara lambat namun pasti, menggerogoti masyarakat itu sendiri. Industrialisasi yang memegang teguh prinsip-prinsip rasionalisasi telah melahirkan disenchantment of the world. Proses lunturnya daya tarik dunia karena semua yang ada dalam kehidupan bumi dapat dihitung secara rasional. Akibatnya, terjadilah penurunan kualitas kehidupan manusia (dehumanisasi), karena segala hal yang tadinya bersifat subjektif dapat diubah menjadi objektif, kualitatif menjadi kuantitatif.
Dengan demikian, tidak ada alternatif lain kecuali ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan mutlak। Sebab, meskipun dehumanisasi merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, dan tetap sebagai suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah (determinisme).

Kebebasan dan Nasib Manusia Modern
Munculnya pendidikan liberal sebagai Paradigma masa kini telah menimbulkan suatu kesadaran, yang mana dengan meminjam istilah Freire (1970) disebut sebagai kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achevement' dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Orientasi kemasyarakatan menjadi prioritas tujuan pendidikan. Namun penilaian mutu pendidikan begitu mudahnya dinilai hanya dengan melihat sisi baik buruknya masyarakat, hal ini akan menghilangkan dan menafikan makna dan tujuan utama pendidikan yaitu adanya dua unsur yang saling berkaitan.[5] Pertama: berorientasi kemasyarakatan, secara umum pedidikan memang berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Pandangan ini juga dianut oleh aliran parenial atau aliran transmisi kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato dan beberapa sarjana modern seperti William T. Hariis, Robert Hurchins,dan Adler di Amerika Serikat, serta oleh aliran rekonstruksi sosial modern. Kedua: lebih cenderung berorientasi kepada individu, yang lebih menfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat belajar. Yang mana hampir semua agama di dunia menganut pandangan yang berorientasi pada individu.salah satu sisi yang menarik perhatian adalah sistem moral yang selalu diupayakan membentuk manusia yang universal (utuh).
Masyarakat sebagai tujuan akhir pendidikan belum mencerminkan usaha mewujudkan manusia yang sempurna, justru dengan tujuan ini akan semakin jauh dari maksud pendidikan. Kebebasan negatif tidak bisa mewakili konsep seperti ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Al-Attas tentang kebebasan.[6] adalah memilih sesuatu yang terbaik yang mana untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, inilah yang dimaksud dengan kebebasan manusia sejati.[7] Selain daripada konsep kebebasan diatas ada kebebasan manusia yang bersifat tidak memaksakan kehendak yang biasa disebut dengan “kebebasan kemauan”,[8] kebebasan ini bermakna bebas untuk memilih tingkahlakunya sendiri terutama kemauan yang positif.
Pada hakekatnya nasib manusia telah ditentukan sejak awal mula diciptakan yaitu potensi primordial yang mensyaratkan dua hal, pertama: potensi yang secara alami terdapat dalam diri manusia melalui proses pendidikan yang efektif dan kreatif, kedua: segala bentuk kemampuan dan ketidakmampuan yang dimiliki manusia semua bisa diperbaiki dan ditingkatkan melalui pendidikan yang efektif dan efesien।

Modernisasi Pendidikan Menuju Peradaban Universal?
Sebagian orang mengatakan bahwa abad ini menjadi saksi lahirnya apa yang oleh V.S.Naipaul disebut “peradaban universal”, sebenarnya apa yang dimaksud dengan bentuk peradaban seperti ini? Ide tersebut mengimplikasikan akan adanya pandangan umum bahwa kehadiran suatu budaya senantiasa tidak dapat lepas dari kemanusiaan dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai, keyakinan, orientasi, perilaku dan institusi oleh umat manusia di seluruh dunia. Secara lebih spesifik, ide tersebut bisa jadi mengandung arti bahwa sesuatu yang sangat penting namun tidak relevan, atau sebaliknya, relevan namun tidak penting.
Ide yang digunakan sebagai doktrin peradaban ini ialah bentuk-bentuk (budaya) Barat dan kebudayaan popular di seluruh dunia yang kemudian menciptakan sebuah peradaban universal.[9] Yang mana esensi dari peradaban barat adalah Magna Carta bukan Magna Mac, kenyataan yang membawa kita kepada kebiasaan bisa dirasakan bahwa orang-orang non barat lebih menerima yang terakhir (peradaban) dari pada yang pertama.
Lalu apa hubungannya peradaban barat yang liberal dengan pendidikan masa kini?. Pengaruh pendidikan liberal (hasil kebudayaan barat) dapat dilihat dalam berbagai aspek pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid, seperti Perankingan untuk menentukan murid terbaik adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Positivisme[10] sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal.
Modernisasi bukan hanya dilakukan oleh pemikir Barat yang sinis terhadap islam. Pemikir dan pembaru muslim yang menyadari bahwa persoalan dasar menimpa umat islam sejak beberapa abad yang lalu yang berkaitan dengan isi dan metode pendidikan yang kabur pada masyarakat. Dalam hal ini reformis muslim modern, menurut Fazlur Rahman, menggunakan dua pendekatan dasar terhadap ilmu pengetahuan Barat modern. Yaitu:
1. Representasi yang dilakukan oleh Namik Kemal dari generasi muda Turki ‘Utsmani, Ibrahim Al-Rawi Al-Rafi’i (tahun 1920). Mereka berpendapat bahwa pencarian ilmu pengetahuan modern harus dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan pragmatis, yang bertolak dari kepercayaan bahwa ilmu-ilmu teoritis akan menyebabkan keraguan terhadap agama di kalangan umat islam.
2. Keseluruhan ilmu pengetahuan modern haruslah diserap oleh umat islam sebab dianggap berguna. Mereka berdalih bahwa pada abad pertengahan umat islam tidak hanya terbiasa mengambil aspek-aspek teknis ilmu asing. Thaha Hussein dari mesir mengatakan, karena dunia arab merupakan bagian dari Barat, ilmu Barat modern harus dianggap dan diterima sebagai bagian dari dirinya.
Pendapat-pendapat diatas tidak sejalan dengan konsep islam. Kita setuju bahwa agama sejalan dengan sains. Namun hal ini tidak berarti bahwa agama sejalan dengan metodologi ilmiah dan filsafat sains modern. Karena tidak ada ilmu yang bebas nilai,[11] kita harus meneliti dan mengkaji dengan cerdas nilai dan penilaian yang melekat pada interpretasi ilmu modern.
Modernisasi pendidikan[12] menjadi tema besar dalam setiap percakapan manusia. Maka dari itu perlu adanya pengkajian khusus tentang apa yang harus dimodernkan dan diubah, serta kearah mana tujuan pendidikan modern itu sendiri. Dengan dalih merubah peradaban manusia saat ini menjadi peradaban yang universal maka semua konsep dirubah sesuai kehendak pemikir Barat sedang kita meniru apa yang telah mereka syaratkan.Kebohongan besar jika kita selalu mengiyakan segala apa yang dituntut modernisasi pengetahuan oleh Barat.
Individuasi[13] : Solusi Untuk Humanisasi
Charles A reich dalam bukunya The Greening of America menyatakan, tiap-tiap orang memiliki individualitasnya sendiri, bukan untuk dibandingkan dengan miliki orang lain. Seseorang mungkin saja menjadi pemikir ulung dan brilian, tetapi ia tidak “lebih baik” dalam berfikir dengan orang lain, karena ia benar-benar memiliki keunggulannya sendiri. Seseorang yang berfikir dengan sangat buruk masih bisa lebih unggul menurut pendapatnya (caranya) sendiri. (Steve M. Chan, p. 59). Dengan statement diatas berarti manusia memang harus menjadi dirinya sendiri bukan meniru untuk menjadi orang lain dengan begitu akan lebih dapat disebut dengan manusia daripada yang tidak menentu kemana arah ia melangkah.
Manusia saat ini sudah mulai kehilangan perasaan dan hati nurani (spiritualitas) nilai-nilai moral dan budi luhur serta ajaran agama juga telah digusur oleh modernisasi, liberalisasi sehingga manusia tidak lagi memiliki landasan dalam hidupnya. Sebagai manusia yang utuh haruslah paham akan dirinya sendiri, menurut Jung proses mewujudkan kepribadian seperti ini secara utuh harus menitik beratkan kesadarannya kepada self (diri sendiri)[14].
Secara terminology, “kesadaran” jiwa (nafs) berasal dari kata “sudr” yang berarti dada atau qalb (hati), yaitu pengetahuan tentang kebenaran,[15] tentang hakekat dirinya dan keberadaannya di muka bumi ini yang hanya dapat disentuh oleh jiwa yang suci. Manusia sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian yang mengatasi atau mentransendir dunia luar dan alam sekitar. Namun, seorang manusia yang merupakan subjek mandiri dan bermartabat dapat mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh nalurinya.
Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia merupakan bentuk unik dimana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya. Refleksi merupakan bentuk dari penggungkapan kesadaran, dimana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan. Setiap teori yang dihasilkan oleh seseorang merupakan refleksi tentang realitas dan manusia. Manusia dalam melahirkan cinta untuk semua merupakan jawaban untuk eksistensi manusia yang membutuhkan rasa dan sayang dari yang lain. Begitupula, tentang kesadaran sangat berkaitan dengan manusia bahkan yang membedakan manusia dengan binatang. (Erich Fromm, The Art of Love)
Manusia hidup didunia hendaknya memikirkan dan merencanakan tujuan yang ingin dicapai kelak. Dalam ungkapan pakar teologis aristoteles (384-322), ia menggunakan kata “entelecheia” (en: dalam diri manusia, telos: tujuan, echeia: memiliki) yang berarti, “didalam diri manusia sendiri terdapat sesuatu yang harus dicapai”, tanpa tujuan manusia akan mudah terombang-ambing oleh arus modernisasi, begitu juga dalam hal pendidikan yang merencanakan untuk mengembalikan kesadaran manusia sebagai batu loncatan dalam menggapai kesadaran total sebagai manusia universal akan memperkecil kemungkinan terjadinya krisis kemanusiaan yang tidak diinginkan.
Orang bijak sebagai acuan kesadaran manusia ialah orang yang memiliki pandangan atau visi intelektual, yang mengetahui dengan baik dasar-dasar maupun puncak dari ilmu pengetahuan. Yang mana dia mampu meneliti dengan cermat prinsip-prinsip pemikiran dan tindakan fundamental dan mempertahankan pandangan tentang dunia, mencakup apa yang akan dan yang seharusnya terjadi. Tingkah laku yang mengarah pada kebijaksanaan di dalam pengertian ini terdapat pada studi tentang analisa-analisa yang tajam serta pandangan (visi) yang hebat, yang biasanya dikaji oleh filsafat. (Steve M. Chan, 2002, p. 23).
Kesadaran manusia akan maksimal dengan adanya proteksi dari hati yang mengontrol tingkah laku. Dalam hal ini ketika manusia bertindak sebenarnya ia berada dalam awasan tuhan, namun dengan adanya keterbatasan manusia tidak merasakannya, sebab inilah manusia belum menyadari untuk apa manusia berada. Menurut Kant[16] manusia tidak akan dapat memahami tuhan dengan akalnya (akal murni menurut istilah Kant), manusia hanya dapat mengetahui tuhan dengan hatinya (akal praktis menurut istilah yang digunakan oleh Kant)।

Penutup
Pada akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan liberal telah menggerogoti sendi-sendi pemikiran manusia. Namun kebebasan dijadikan sebagai dalih keotentikan sifat manusia universal parahnya kebebasan ini adalah kebebasan yang tanpa batas. Hal ini bertolak belakang dengan konsep yang diutarakan oleh Syed Naquib. Hakekatnya manusia dididik untuk menjadi manusia yang utuh atau universal (manusia yang benar-benar pada hakekatnya) yang pastinya memiliki tujuan yang akan dicapai, Manusia hidup bukan untuk mengikuti arus kehidupan tapi harus menciptakan arus yang baik untuk maslahat bersama.
Solusi yang harus dilakukan untuk keluar dari jeratan kebebasan ini tidak lain yaitu “segera sadar” dan bangun dari “ketidaksadaran”, ini merupakan kunci yang harus dipegang setiap manusia yang membutuhkan pendidikan. Tidak ada alasan bagi yang mencoba menghindar dari solusi ini jika benar-benar ingin keluar dari rangkulan liberalisme pendidikan.
Dengan demikian, liberalisasi, globalisasi, modernisasi merupakan doktrin yang selalu diusung oleh pemikir barat harus segera ditolak dengan jalan kembali mencari jati diri sebagai manusia yang benar-benar manusia bukan manusia jasadnya namun rohaninya hilang entah kemana। Wallahu a’lamu bish shawab

Referensi
Al-Jumbulati, Ali, Dkk., Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet. II.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1989.
Djainuri, Achmad, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, Surabaya: Al Ikhlas, 2001.
Freire, Paulo, Dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konserfatif, Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. IV.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Psikologi Dan Pendidikan, Jakarta: Radar Jaya Offset, 1986.
Nor Wan Daud, Wan Mohd., Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Qardlawi, Yusuf, Fiqih Peradaban, Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Surabaya: Danakarya, 1997, Cet. I.
Solihin, Mukhtar, Hakikat Manusia, Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Sukandi, Prof. Dr. Nurcholish Madid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. II.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII.

Footnote
[1] Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages).mereka menyebutnya sebagai “zaman pertengahan” (the medieval ages). Zaman ini dimulai ketika imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya gereja Kristen sebagai institusi yang dominan dalam masyarakat Kristen barat sampai dengan munculnya zaman reneisance sekitar abad ke-14 karena itu mereka menyebut zaman baru dengan istilah “reneisance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekuler Liberal?, (Ponorogo: CIOS, 2007 ,p. 4)
[2] Paulo Freire, Dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, p. 219)
[3] Makalah Luthfie dalam diskusi wacana Islam Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta: Rabo, 21 Februari 2001.
[4] Http://Didijunaedihz.Wordpress.Com/2007/06/21/Solusi-Islam-Atas-Krisis-Kemanusiaan/
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam, Syed Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003, p. 163).
[6] Ibid. p.102
[7] Kebabasan dalam islam terkandung dalam salah satu istilah teologi islam tidaklah sama dengan ide modern. Sebab akar kata ikhtiar adalah khoir atau baik jadi kebebasan sejati dalam islam adalah usaha mencari yang terbaik bagi dirnya bukan bebas tanpa aturan dan tujuan. Kebebasan sejati bisa dicapai manusia ketika telah memperoleh iluminasi spiritual atau gnosis (ma’rifat), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi.
[8] Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi Dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986, p.. 34)
[9] Damuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Polotik Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003, p.79)
[10] Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisme melalui metode determinasi, 'fixed law' atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap 'appropriate' untuk semua fenomena. Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah dengan berpijak pada positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai. Tentang kemodernan suatu ilmu begitu mudah dinilai dari sisi hasil yang didapat tanpa memperhatikan bagaimana proses meraihnya sehingga sikap pragmatis begitu berperan.
[11] Dikatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai (netral) karena ilmu adalahh “sifat manusia”. Segala sesuatu yang berada diluar akal pikiran bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan fakta dan informasi yang kesemuanya adalah objek ilmu pengetahuan. Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit. p. 391
[12] Modernisasi yaitu sebuah istilah yang sesungguhnya sarat akan ide-ide pem-Barat-an yang dikemas dalam semangan nasionalisme, sebuah istilah yang dimaksudkan untuk pembaruan danpembangunan juga revolusi yang bertujuan menggantikan status-quo lama menjadi solidaritas bernegara. (Ibid. p. 113)
[13] Seperti yang diungkapkan oleh Carl G. Jung, Individuasi adalah jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mewujudkan kepribadiannya yang asli. Proses individuasi dapat diterjemahkan sebagai proses menjadi diri sendiri (selbstwerden) atau realisasi diri (selbstveerwirklichung). Mukhtar Solohin, Hakikat Manusia, Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005, p. 39)
[14] Zamzam A. Jamaluddin T, 2000, p. 2
[15] Mukhtar Solohin, Ibid. p.41
[16] Ahmaad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII, p. 7)


Pendidikan Islam Yang Integratif

Seperti yang pernah diutarakan oleh presiden Amerika Barack Obama dalam pidatonya di University Kairo, Mesir, 4 Juni 2009 'Sebagai pelajar sejarah, saya mengetahui peradaban berhutang besar terhadap islam, islam mengusung lentera ilmu selama berabad-abad dan membuka jalan bagi era kebangkitan kembali dan era pencerahan di Eropa'pernyataan seperti diatas bukanlah hal baru. siapapun pasti mengetahui islam pernah menguasai dunia dengan peradaban ilmu pengetahuannya. islam memunculkan banyak ilmuwan dan kaum cendekiawan yang karya-karyanya menjadi inspirasi...bagi penemuan atau karya-karya berikutnya.
pendidikan islam bertujuan membentuk individu-individu muslim yang menguasai sains dan teknologi. karena tujuan tersebut maka ilmuwan muslim tidak hanya menguasai sains dan teknologi namun lebih dari itu yakni menguasai pengetahuan islam yang mampu merubah paradigma pendidikan selama ini.

Monday, October 26, 2009

Ciri Pendidikan Islam

Pendidikan islam memiliki ciri-ciri seperti ramah, damai, berkarakter, sejuk, sejahtera, toleran, sejahtera. secara substansi, islam selalu merespon segala perkembangan zaman denga cepat dan bersifat transformatif/ selain itu, pendidikan islam tidak jumud dan stagnan, serta selalu bersinergi dengan kemjuan. oleh karena itu pendidikan islam tidak saja memiliki nilai komparatif tinggi namun juga mempunyai keunggulan dalam mendidik atau mengolah pendidikan, sehingga melahirkan manusia unggul.
pendidikan islam tidak hanya berkutat pada institusi sekolahan namun islam lebih meletakkan aspek terpenting dalam dunia pendidikan ini kepada lingkungan keluarga..sebagaimana kiai idris, orang tua harus mampu memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. rumah tangga harus menjadi madrasah bagi anak-anak. sebab kecenderungan anak dalam melihat kenyataan apa yang dilakukan orang tua dirumah, jika apa yang dialami di rumah tidak sesuai dengan yang ada diluar biasanya anak akan tidak mengikuti orang tua. karena itu 'orang tua harus menjadi teladan yang baik di mata anaknya'.
dibalik anak yang sukses ada orang tua yang mendorongnya. tugas orang tua bukan hanya membesarkan anak, tapi mendidik dan mengawalnya menjadi cendekia dan shalih. hal yang terpenting dalam membentuk anak yang sukses dalam didikan yaitu selalu mengarahkan mereka kepada pengetahuan tentang ilmu al-qur'an dan sunnah.
sekian, supaya dapat dijadikan renungan bagi kita semuanya

Tuesday, August 11, 2009

Rouping: Panggilan Kesadaran Hati Untuk Pendidikan

Pendidikan mempunyai arti membebaskan atau memerdekakan manusia dari belenggu kebodohan, kesempitan dan kepicikan dalam membangun kemampuan seseorang. Adapun konsep pendidikan dalam islam adalah totalitas, mengkaji semua ayat-ayat Allah baik yang tertulis, yang wujud (faktual), maupun yang berupa sandi-sandi dengan menggerakkan semua instrument manusia untuk memahaminya. Dengan adanya pendidikan, manusia memiliki daya dan upaya untuk melangsungkan hidupnya secara terorganisir sehingga dapat menjadi bangsa yang cerdas, (Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang survive dalam menghadapi berbagai kesulitan). Untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan, sekolah memerlukan sekurang-kurangnya dua syarat yang tidak boleh tidak dipenuhi, pertama, penguasaan teori pendidikan modern, yaitu teori yang islami dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, ketersediaan dana yang cukup, (Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, 2007, hal. 107), Sebagai seorang guru haruslah menguasai teori pendidikan dalam mendidik anak. Tapi tidak cukup dengan menguasainya saja melainkan juga harus dapat mengaplikasikan ke berbagai bentuk. Seperti, salah satu bentuk teori islami yaitu profesionalisme seorang guru. Dalam islam pekerjaan harus dilakukan secara professional, dalam arti harus dilakukan secara benar.

Profesionalisme Guru
Secara umum kita sering menganggap profesi itu hanya sebagai suatu pekerjaan. Padahal, profesi memiliki definisi sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjutan dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang bermanfaat, dalam aplikasinya menyangkut aspek-aspek yang lebih bersifat mental daripada yang bersifat manual work. Sedangkan profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Profesi itu sendiri ialah merupakan panggilan hidup dan keahlian seperti yang dikatakan oleh Waterink, "Guru yang profesional adalah guru yang sadar akan menjadi pendidik dan memiliki dasar utama yaitu, "Rouping" atau panggilan hati nurani".
Suatu bidang disebut profesi apabila memiliki ciri-ciri yakni "dedikasi" dan "keahlian". Menurut Mukhtar Luthfi dari Universitas Riau (Lihat Mimbar, cet. 3, 1984: 44), seseorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) profesi harus mengandung keahlian, 2) profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu, 3) profesi untuk masyarakat bukan untuk diri sendiri, 4) profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal, 5) profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan. Dari kriteria-kriteria diatas jelaslah bahwa profesionalisme seorang guru tidak dapat dianggap remeh dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
Proses belajar mengajar memiliki tujuan ideal yaitu agar bahan yang dipelajari dapat dikuasai sepenuhnya oleh murid. Hal seperti ini disebut dengan "mastery learning" atau belajar tuntas, artinya penguasaan penuh. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila guru mampu meninggalkan kurva normal sebagai patokan keberhasilan mengajar) Prof. Dr. S. Nasution, MA, Belajar dan Mengajar, 1995, Hal. 36), sebagaimana tugas guru yaitu menciptakan suasana dan fasilitas yang sebaik-baiknya agar proses belajar dapat dilaksanakan dengan baik. Seorang guru hendaknya dapat memahami setiap perilaku siswa karena itu akan lebih memudahkan dalam proses mengajar, tetapi saat ini kebanyakan guru hanya memperhatikan materi pembelajaran yang cocok untuk diberikan kepada siswa bukan memikirkan bagaimana metode penyampaian yang tepat kepada siswa.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya 'Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam', yaitu, jika ingin menguasai pemikiran manusia, kuasailah sekolah. Sebab karena inilah yang menjadi bahaya apabila orang islam menyekolahkan anaknya ke sekolahan katolik, begitu juga dengan sebaliknya. Dari sinilah guru harus benar-benar memahami peranannya sebagai seorang pendidik bukan sekedar sebagai pengajar, dengan adanya pendidikan di sekolah akan dapat mempermudah dalam proses mencerdaskan anak bangsa, oleh karena itu, untuk menjadi seorang guru haruslah cakap dan berkepribadian baik. Karena, jiwa seorang guru ketika mengajar sangatlah penting dalam proses pemberian materi terhadap siswa.
Dalam melakukan proses belajar mengajar haruslah dapat memilih pendidik yang profesional dan berkompeten. Guru yang berkompeten adalah guru yang mahir dalam bidangnya masing-masing. Untuk saat ini, yang dibutuhkan bukanlah guru-guru yang memiliki sertifikat banyak atau seorang sarjana, tetapi alangkah baiknya jika seorang guru itu paham akan profesinya sebagai guru dan benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan sebagai guru dalam mendidik siswa yang sedang berkembang, yang mana diperlukan tenaga ahli yang dapat mengerti dan memahami tingkah laku siswa tersebut. Orang tua disebut juga sebagai guru, bahkan orang tua itulah yang harus lebih profesional dalam mendidik, orang tua harus dapat menanamkan jiwa yang baik dalam diri anak sejak pertama ia lahir hingga remaja. Seperti yang diungkapkan oleh Bijau, "Banyak ahli psikologi anak yang mengatakan bahwa tahun-tahun prasekolah, sekitar dua sampai lima tahun adalah salah satu tahapan yang penting", Periode itu adalah periode dimana diletakkan dasar struktur perilaku yang kompleks yang dibentuk dalam kehidupan seorang anak ini menandakan, sebelum seorang anak dibawa ke bangku sekolah orang tua harus lebih dulu mendidiknya guna menjadikan anak tersebut berpendidikan yang lebih baik.
Dalam peningkaan mutu suatu pendidikan, profesionalitas adalah yang utama. Sebab tanpa adanya profesionalitas, seorang pendidik akan asal dalam melakukan kewajibannyan sebagai guru. Adapun kualitas seorang anak didik bukanlah karena sekolah itu favorit atau telah terakreditasi, melainkan mutu suatu pendidikan dapat dicapai karena adanya guru yang professional atau cakap dalam mendidik anak. Kunci dari keprofesionalan guru adalah keikhlasan dalam mentransfer ilmu bukan karena ingin mencari materi atau popularitas semata, sebab ruh seorang pengajar itu lebih penting dari materi pelajaran dan guru itu sendiri.
Untuk itu, memilih guru yang profesional lebih penting dari pada guru yang memiliki gelar tapi tidak sanggup menerapkan profesionalitasnya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan memerlukan penguasaan teori pendidikan yang modern serta sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Penguasaan teori menjadi sangat penting karena adanya metode-metode pembelajaran yang tidak membosankan, dengan begitu anak didik akan menikmati proses belajarnya, tentu tidak lepas dari penerapan profesionalisme seorang guru. Banyaknya sekolahan yang tidak berkembang mutunya adalah ketidak efektifannya dalam penerapan profesi guru. Jadi untuk meningkatkan mutu pendidikan yang terpenting adalah penerapan profesionalisme yang didasari oleh panggilan hati nurani (Rouping) di sekolah tersebut.

Menilai Segi Tujuan Pendidikan Secara Benar

Pada umumnya, anjuran supaya kita belajar dari ilmuan barat dengan masih tetap mempertahankan nilai-nilaai islam yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam menghadapi permasalahan yang banyak melanda umat sekarang ini sudah diterima oleh setiap orang. Namun, setelah lebih dari satu abad, atau kurang lebih empat puluh tahun dalam kasus Negara-negara muslim lain (selain turki dan mesir).
Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam pembaharuan ini masih jauh dari yang diharapkan. Sekarang ini, situasi sosial-ekonomi dan politik yang terus berubah dianggap sebagai realitas yang tidak terelakkan dan dunia pendidikan diminta untuk selalu menanggapi dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Dalam hal ini, islam sering digunakan untuk menjustifikasikan tujuan-tujuan pendidikan yang berorientasi kemasyarakatan atau yang sesuai dengan selera partai yang sedang memerintah sehingga mengesampingkan perkembangan dan kebahagiaan sejati individu yang sehaarusnya diperoleh selama proses pendidikan.
Al-Attas adalah pemikir kontemporer muslim pertama yang berani mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, dan yang telah menegaskan bahwa tujuan pendidikan menurut islam bukanlah untuk menghasilkan warga Negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Pada September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafiie, yang kemudian menjadi menteri dalam negeri Malaysia, bahwa tujuan pendidikanan dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan manusia Paripurna, hal ini disebutkan dalam bukunya islam and secularism: tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai warga Negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, ini bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat dan dunia.
Dengan demikian tujuan dari pendidikan islam dapat kita simpulkan yaitu tidak lain hanya untuk tujuan membentuk pribadi manusia yang bermoral tinggi dan berakhlak mulia, bukan hanya sebagai buruh tapi menjadi pengangkat derajat buruh yang kurang mampu. Semua itu dinamakan dengan manusia yang baik jika seluruh amalan-amalannya bisa mendatangkan faedah bagi orang lain.




Pendidikan Islam Dalam Kepungan Globalisasi

Globalisasi sebenarnya merupakan sebutan untuk “dunia yang telah lepas kendali” (runaway world), yaitu perkembangan dunia yang jauh dari perkiraan dan tak terprediksi. Globalisasi merombak tradisin dan budaya dengansegala kekayaannya, mulai model pakaian, gaya hidup (life style) hingga budaya pragmatism, materialism dan hedonism.
Budaya mental instan dan serba mencukupkan formalitas merupakan akibatnya yang lain. Strategi yang bisa dilakukan oleh pendidikan islam adalah proteksi dan sekaligus proyeksi. Proteksi adalah prinsip konservasi nilai. Strategi ini untuk membentengi nilai-nilai luhur dari ancaman nilai dan budaya luar yng destruktif. Sementara proyeksi adalah prinsip progresivitas. Strategi ini mengharuskan lembaga pendidikan islam dan dunia pendidikan pada umumnya untuk teru meningkatkan kualitasny, meletakkan visi-misi yang jelas sesuai hasil pembacaannya terhadap masa depan.
Tantangan Terberat Pendidikan Agama: Krisis Sains Modern
Diantara keprihatinan para intelektual saat ini adalah soal perkembangan sains modern yang bisa dikatakan sebagai pilar utama peradaban barat modern. Maka tema seputar model sains alternative menjadi trend gerakan intelektualisme saat ini. Terkait dengan persoalan ini, Armahedi Mahzar mengidentifikasi empat dampak sains modern, yaitu dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologi, dan dampak psikologi. Menurut armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains yang secara serta merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata.

Pendidikan Yang Dipaksakan: Telaah Problem Di Indonesia

“Knowledge is power, but character is more”[1]. Inilah statement yang membuat banyak orang pesimis akan pendidikan di Indonesia ini. sebab yang yang terjadi pada pendidikan di Indonesia adalah kebalikan dari statement diatas. Pendidikan kita cendrung untuk mengeksploitasi anak agar mampu bersaing dengan yang lainnya demi memperoleh pekerjaan yang ujung-ujungnya adalah “kesejahteraan di bidang ekonomi”[2], mendapatkan pekerjaan yang layak, menjadi orang yang kaya. Karena ukuran untuk mendapatkan pekerjaan adalah kepemilikan Izajah, sementara Izajah isinya adalah deretan angka yang diperoleh anak ketika menjawab soal ujian, maka jelaslah yang menjadi goal terbesar dalam pendidikan kita adalah otak. Orang tua akan malu apabila nilai matematika anaknya tiga, atau dua. Segala cara dilakukan dengan mengkursuskan anak pada tempat-tempat kursus favorite, agar terhindar dari rasa malu akibat nilai jelek yang diperoleh anaknya. Ukuran suksesnya pendidikan hanya terpaku pada besar kecilnya nilai anak dalam sebuah ujian.
“Sekolah bla-bla menerima pendaftaran siswa-siswi baru, di jamin lulus 100% .. di jamin langsung di terima kerja di berbagai instansi pemerintahan” begitulah iklan sekolahan yang sering kita baca. Dari situ saja sudah bisa ditebak; bahwa orientasi sekolahan adalah menciptakan tenaga kerja. Anak dipacu demikian rupa untuk bisa melalui tahapan Ujian dengan berbagai upaya, mulai dari belajar bersama hingga do’a bersama, istighosah dan lain sebagainya, semua itu dilakukan dengan sebab satu hal, takut jika gagal dalam ujian, kegagalan dari ujian berarti kegagalan mendapatkan izajah, dan kegagalan mendapatkan Izajah adalah kegagalan untuk berkompetisi dalam memperoleh Pekerjaan sebagai Pegawai. Maka jika kita telusuri sesungguhnya sekolah tidak beda dengan pabrik; bahan baku yang dikelolanya; manusia, hasil produksinya; Tenaga kerja.
Manusia disebut manusia bukan karena ia memiliki otak saja, melainkan ada demensi yang lainnya dimana dengannya manusia bisa dibedakan dengan mahluk yang lain. Di samping otak, ada hati dan jiwa. Pendidikan yang hanya terfokus pada penglolaan kemampuan otak saja akan gagal membangun seseorang menjadi manusia. Akibatnya banyak anak pintar lahir dari model pendidikan kita, tetapi akhlak dan charakternya tidak tumbuh, dan cendrung rusak. Maka sekolah yang baik adalah sekolahan yang berorientasi kepada aktualisasi anak didiknya. Mengelola seluruh demensi yang dimilik oleh seorang anak, ya otaknya, ya hatinya, ya jiwanya. Ketiga demensi itu harus dikelola secara seimbang agar tidak terjadi ketimpangan ketika anak harus bersosialisasi. Kemampuan anak dalam aktualisasi diri di tengah masyarakatnya terkait erat dengan kematangan secara akal, hati dan jiwa sekaligus. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pembentukan daya kognitif otak saja dan memalingkan dari pengembangan spiritual, dan pengembangan emosional anak, adalah aborsi dalam pendidikan; memaksa anak untuk lahir sebelum waktunya.
“Early Ripe, early rot…” cepat masak, cepat busuk… mengingatkan kita agar tidak tergesa-gesa dalam membentuk anak untuk segera jadi, dan siap berkompetensi dalam hidup. Ada tren dalam masyarakat kita untuk sesegera mungkin melihat anaknya berprestasi. Sejak usia dini sudah dikenalkan dengan program-program pendidikan, dimana program-program itu telah menjajah jiwa anak yang bebas menjadi terikat, hingga waktu yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan jiwanya dengan bermain; terkorupsi oleh keinginan orang tua untuk melihat anaknya menjadi anaknya yang unggul. Sebut saja misalnya; tuntutan wali murid agar anaknya segera mampu membaca, telah menggiring guru-guru TK memaksa anak-anak untuk mampu membaca. “Pendidikan kita cendrung memperkosa dibanding membebaskan”. Begitu ujar guruku.
Mengembalikan jiwa pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menjadikan manusia yang hatinya mencahaya dan pikirannya terang benderang “good and smart”. Dan hal itu mungkin dilakukan jika setiap guru yang ada memiliki pemahaman yang benar dengan konsep pendidikan. Karena ketidak mampuan guru/pendidik dalam menghadapi persoalan pendidikan, atau salah dalam memahami orientasi pendidikan, akan membawa anak didik dan orang tua murid salah juga dalam mengorientasikan hidupnya.

II. TUJUAN PENDIDIKAN
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing masing dengan tingkat keragamannya sendiri. Pandangan teoritis yang pertema berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar.[3]
System pendidikan yang diterapkan di Negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Pandangan ini dianut oleh aliran Perenial atau aliran Transmisi Kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato, sarjana Barat Abad Pertengahan, dan beberapa sarjana modern, seperti William T. Harris, Robert Hutchins, dan Adler di Amerika, juga aliran Rekonstruksi Sosial Modern yang diwakili oleh George S. Count, Paulo freire di Brasil, dan Jurgen Habermas di Jerman. Sebaliknya, hampir semua agama besar menganut pandangan yang berorientasi kepada Individu[4]
Mereka yang meyakini pendidikan sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam membentuk masyarakat beranggapan bahwa masyarakat jauh lebih penting dari individu. Meskipun tidak sepenuhnya diabaikan dalam praktik pendidikan yang berorientasikan kemasyarakatan, kebutuhan dan minat peserta didik menduduki posisi kedua setalah kebutuhan dan minat masyarakat, sejauh kebutuhan dan minat peserta didik memiliki kaitan dengan kebutuhan dan minat masyarakat.
Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orangtua mereka. Dengan kata lain, pendidikan adalah jenjang mobilitas social-ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka, meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.
Pendidikan Islam tradisional selalu menjadikan keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan yang terpenting. Namun, filsafat pendidikan yang lebih memfokuskan individu ini secara perlahan-lahan berubah ke bentuk yang lebih memfokuskan pemenuhan kebutuhan dan minat masyarakat sejak umat Islam berada di bawah pengaruh pemikiran dan institusi institusi Barat. Sekarang ini, Pendidikan menjadi alat mobilisasi social ekonomi individu atau Negara. Dominasi sikap seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan “Penyakit diploma” (diploma disease), yiaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial[5]


III. VISI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah agen pembangunan dan perkembangan dalam rangka menciptakan generasi yang tidak ketinggalan zaman. Karena itu pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia agar tidak sekedar menjadi manusia penerima arus informasi global, namun harus memberikan bekal kepada manusia agar dapat mengolah, meyesuaikan dan mengembangkan apa yang diterima melalui arus informasi itu, dengan demikian visi pendidikan adalah menciptakan manusia yang kreatif dan produktif.[6]
ciri ciri manusia produktif adalah; ia menerima dirinya sendiri secara ihlas, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Tidak larut dalam kebanggaan atas kelebihan yang dimiliki dan tidak mandeg karena kelemahan dan kekurangan dalam dirinya. Dengan sikap yang demikian maka ia akan mampu memikirkan apa yang dapat dilakukannya dengan segenap sifat yang ada pada dirinya. Yang kedua adalah; ia menerima lingkungan hidupnya secara ihlas. Ihlas dalam hal ini bermakna ia tidak menyesal karena berada di desa, di lingkungan yang kurang makmur, atau disebuah Negara yang kurang maju. Menerima seluruh kekurangan yang terdapat dalam lingkungannya. Dengan begitu ia akan mampu menangkap kemungkinan-kemungkinan yang terbentang di depannya. Ketiga adalah; manusia produktif adalah manusia yang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan zamanya. Tanpa kepekaan itu mustahil ia mampu untuk menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Keempat adalah; manusia yang memiliki kemampuan bekerja dan berkarya karena mengenal dan menguasai metode-metode kerja yang terdapat dalam bidang garapannya.[7]
Manusia yang kreatif dan produktif sebagai target pendidikan adalah visi umum dari pendidikan, karenanya masih harus diperinci lebih lanjut bagaimana membentuk karakter yang demikian itu ke dalam jiwa anak didik. Misalnya bahwa pendidikan jangan hanya semata mata menekankan pada pengisian otak, tapi juga pengisian jiwa. Upaya yang demikian adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan tauhid. Yaitu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran itu adalah bukti kasih sayang Allah karenanya harus diabadikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya-karya kemanusiaan yang ihlas.

IV. PROBLEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Problem dalam pendidikan yang ada di indonisia adalah; bentuk pendidikan yang bersifat Parsial, Pragmatis, dalam banyak hal justru bersifat paradox[8]. Parsial, karena pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan dan melupakan pendidikan ahlak dan moral. Hal tersebut menjadikan hasil dari pendidikan yang semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang trampil dan cerdas secara intelektual namun miskin dalam peringai dan tingkah laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun rusak moral dan ahlaknya. Pendidikan yang demikian adalah agen untuk melayani kepentingan dan kebutuhan hidup yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakatnya industry maka yang laku adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan tehnologi maka yang laris adalah fakultas tehnik informatika dan lain sebagainya.
Bersifat Praktis dan pragmatis[9], hal tersebut tercermin dalam orientasi pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam banyak hal sekolah sekolah didirikan dengan konsep siap pakai, siap kerja, siap latih. Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran ukuran yang sederhana, berapa lama kuliah dapat diselesaikan, IPK yang dapat dicapai. Kesuksesan sebuah lembaga pendidikan dilihat dari seberapa cepat anak didiknya diterima di lapangan kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Dan hal yang demikian bertolak belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam. dimana dimensi terpenting dari hidup manusia yang menjadi orientasinya, bagaimana pendidikan dapat memberikan pengaruh dalam jiwa peserta didik untuk mengembangkan manusia menjadi semakin bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, trampil dan lain sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak menyentuh aspek substansi atau yang hakiki dan inti tersebut, melainkan hanya pada kisaran kulit dan kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia.[10]
Bersifat paradox, Pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di Indonesia sulit sekali menemukan seorang guru yang ideal, yang menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad samir almunir dalam bukunya ketika menulis risalah untuk guru “kami meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan apa kata anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami. Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka”[11]
Pendidikan sebagai proses peniruan tidak lagi dapat ditemui karena yang terjadi dilapangan adalah kebalikannya, guru tidak lagi menjadi uswah karena mereka hanya berfungsi mentransfer pengetahuan kepada peserta didik dan melupakan fungsinya sebagai pendidik. Banyak kasus imoral terjadi di Indonesia ini yang dilakukan oleh oknum guru. System pegawai negri umpamanya, menjadikan guru hanya mengejar gaji dan tidak memperdulikan lagi moral anak didiknya. Bila ditilik lebih lanjut sesungguhnya yang demikian adalah efek pemisahan antara Ilmu dan amal yang terjadi di Negara sekuler. Bahwa bisa saja seseorang sangat intelek dan kaya keilmuan namun prilakunya tidak berkaitan dengan ilmu yang dimilikinya. Ilmu bagi mereka adalah veleu free (bebas nilai) tidak ada sangkut pautnya dengan prilaku sehari hari. Berbeda dengan konsep Islam, syarat seseorang disebut Alim apabila ia memiliki sifat wara’, dalam rijal hadist umpanya, seseorang baru diterima untuk mentransformasikan hadist (pengetahuan) jika ia dhobith dan adil, kepintaran saja tidak cukup ia juga harus berperingai baik, dalam Islam tidak hanya undzur ma qola tetapi juga harus undzur man qola agar proses pendidikan berjalan dengan sempurna.
Maka jika kemudian pendidikan sebagai proses pembiasaan tidak lagi bisa kita temui dalam model sekolahan yang ada di Indonesia, hal tersebut sangat bisa dimaklumi. Bagaimana mungkin seorang guru yang dalam konsep mengajarnya hanya mengejar pelaksanaan tugas yang penting dapat gaji bisa berpikir membiasakan peserta didiknya untuk sholat ke mesjid setiap kali mendengar adzan, padahal pembiasaan adalah factor terpenting untuk menciptakan moral atau akhlak. Anak yang terbiasa pergi ke mesjid setiap kali mendengar adzan akan merasa tidak enak apabila ada adzan kemudian tidak pergi ke mesjid, perasaan yang demikian akan terpatri dalam jiwa anak didik ketika ia telah terbiasa. Dan keterbiasaan itu perlu dilakukan dengan proses pembiasaan.
Problem yang paling mendasar dari Pendidikan yang ada di Indonesia adalah bahwa pendidikan menjadi alat mobilisasi social-ekonomi individu dan Negara. Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari kerihaan Allah. Muhammad abduh (teolog) di Mesir mengeritik hasil-hasil negative dari tujuan pendidikan yang pragmatis, ia menyadari bahwa tujuan pendidikan itu bukan untuk mobilisasi social-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik, lebih lanjut ia menyatakan:
“Pendidikan ini disampaikan (imparted) sehingga murid bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakekat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-ta’lim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalan shaalihan fi nafsih), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya, tidak masuk ke kepala para guru dan orang-orang yang mengangkat guru-guru tersebut”[12]
Kesimpulan dari urian diatas adalah bahwa Pendidik yang berorientasi untuk memobilisasi social ekonomi dan meremehkan filsafat pendidikan yang berusaha membina dan mengembangkan manusia secara fundamental dan komprenhensif sehingga bisa menggantikan pandangan yang berorientasi kemasyarakatan yang pragmatis praktis, paradox dan parsial menjadi usaha yang semu (elusive), terutama ketika semakin merebaknya permasalahan-permasalahan keruhanian, kejiwaan dan kesehatan, yang pada akhirnya malah melemahkan Negara dan masyarakat secara keseluruhan[13]

V. PENUTUP
Konsep Pendidikan yang tepat dalam Islam adalah ta’dib. menurut al-attas struktur ta,dib sudah mencakup unsure-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Fakta bahwasanya pendidikan Nabi Muhammad SAW. Dijadikan Allah sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh al-qur’an yang mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram), teladan yang paling baik. Hal ini kemudian dikonfirmasikan oleh hadis Nabi yang menyatakan bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia: “Innama bu’itstu li-utammima husna al-akhlaq”[14] seseorang yang paling sempurna imannya (akmalu al-mu’minin imanan), menurut Rasulullah Saw adalah orang yang paling baik akhlaknya (ahsanuhum khulqan). Dari sini dapat dipastikan bahwa aktivitas Nabi Saw berupa pengajaran Al-Qur’an (yu’allimu al-Kitab) dan hikmah serta penyucian umat adalah manefistasi langsung dari peranan ta’dib. Berdasarkan konsep tersebut diatas kemudian al-attas mendifinisikan Adab: “adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritualnya[15].
Dengan demikian maka pendidikan yang ideal adalah yang memperhatikan dimensi realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual dari peserta didik dengan seimbang. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat pendidikan yang memenuhui unsur tersebut. Mulai dari guru, lingkungan sekolah dan kesiapan mental peserta didik, serta program-program yang akan dijalankan dari sekolah sebagai lembaga pendidikan tersebut. Namun yang tampak dari model pendidikan yang ada pada sekolah-sekolah di Indonesia adalah sebuah konsep yang absurd rancau dan sangat pragmatis. Sekolah-sekolah didirikan hanya untuk kepentingan ekonomi, sebagaimana yang telah kita bahas dalam makalah ini. sehingga yang lahir dari pendidikan yang ada disekolah kita adalah pendidikan parsial. Ibarat kandungan seorang ibu, maka pendidikan kita adalah pendidikan yang diaborsi sehingga setelah keluar dari rahim yang ada hanya potongan potongan tubuh, pendidikan yang parsial, sepotong potong. Pendidikan semacam ini tidak akan pernah melahirkan sebuah genarasi yang memiliki kepribadian utuh, melainkan kepribadian yang juga sepotong potong. Iqbal mengatkan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk menciptakan manusia. Dan karena pendidikan di Indonesia ini telah diaborsi, maka yang lahir adalah potongan-potongan tubuh manusia, yang sesungguhnya tidak bisa disebut manusia. Oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang ideal untuk melahirkan manusia yang kamplit, sehingga bisa tumbuh dan berkembang. Dan gontor saya kira bisa dijadikan model pendidikan yang ideal tersebut. Wallahu a’lamu bishawab.
[1] Muhammad Ma’ruf CH, “Makalah disampaikan dalam diskusi Fak Tarbiyah Isid Jum’at 16 desember 2008”
[2] Prof. Dr. Imam Suprayogo, “Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam” UIN Malang, cet I 2004, Hal; 13
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan Istac 1998, Mizan cetakan I 2003 Hal; 163
[4] Ibid, hal; 164
[5] Ibid, hal; 166
[6] Abuddin Nata, “Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam” PT grasindo, Jakarta 2001Hal; 83
[7] Ibid, hal: 86
[8] Prof. Dr. Imam Suprayogo, “Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam” UIN Malang, cet I 2004, Hal; 12
[9] Ibid, hal: 14
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan Istac 1998, Mizan cetakan I 2003 Hal; 163
[11] Mahmud Samir Al-Munir, “Guru Teladan dibawah Bimbangan Allah” Gema Insani, Jakarta 2003 cet I terjemahan oleh; Uqinu Attaqi dari bahasa Arab “al-mu’alim arrabbany” hal; 15 - 16
[12] Rahman, Islam and Modernity, hh, 59 - 61
[13] Pada 1984 (New Straits Times, 17 desember 1984) melaporkan bahwa pecandu narkoba di malaysia menghabiskan uang RM 50 juta perbulan untuk membeli narkoba, termasuk heroin. Kerajaan Malaysia baru-baru ini mengatakan antara 1984-1995 telah membelanjakan RM 517 juta untuk program rahabilitasi narkoba, yang diakui ternyata tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Remaja yang mengandung di luar nikah pada 1985 di amerika menghabiskan lebih dari US$ 16 milyar dana pemerintah, sedang sebanyak 100.000 kasus penyakit AIDS yang dilaporkan akan menelan biaya sekitar US$ 6 milyar. Di Indonesia dari angket yang disebar di kab. Tanggerang hampir 80 persen anak sma telah merasakan hubungan badan sebelum nikah, belum lagi maraknya video-vidio porno yang dilakukan oleh anak anak smp dan sma di perbagai wilayah di Indonesia yang direkam melalui kamera handphone hampir tidak bisa dihutung jumlahnya.
[14] Hadis ini ada dalam muwatha’ Imam malik dan musnad Ahmad ibn hanbal
[15] Wan Daud, Op.Cit, Hal; 177




Hidden Kurikulum: Paradigma Pendidikan Pesantren

A. PENDAHULUAN
Kenapa pesantren mampu bertahan hingga saat ini?, mungkin seakan-akan pertanyaan ini hanya mengada-ada, tetapi tidak menutup kemungkinan para peneliti pendidikan pesantren khususnya, juga memiliki pertanyaan yang sama. Sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan islam dalam dunia muslim[1], tidak banyak lembaga pendidikan islam yang mampu untuk bertahan seperti Pesantren. Kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum.
Pesantren telah eksis ditengah masyarakat selama enam abad (mulai abad ke-15 hingga sekarang) dan sejak awal berdirinya, pesantren telah menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta huruf. Disamping itu Pesantren juga pernah menjadi satu-satunya institusi pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam membentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultural literacy)[2]. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi masa depan tentu memliki tujuan, kurikulum, visi dan misi dalam usaha membentuk bangsa yang lebih beradab. Adapun tujuan yang dicanangkan oleh pesantren yaitu pendidikan yang sesuai dengan norma-norma agama islam dan selalu bersifat tafaqquh fi ‘l-diin.
Perkembangan pesantren -dari pesantren salaf (bandongan dan sorogan) sampai pesantren modern- yang sangat pesat hingga saat ini tidaklah lepas dari adanya system pendidikan yang jelas dan kurikulum yang terencana dengan baik. Karena kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, maka perlu adanya perencanaan dalam penerapannya, tanpa adanya kurikulum yang baik dan tepat, akan sulit untuk mencapai semua tujuan dan sasaran pendidikan yang telah dicita-citakan.
Omar Hamalik (1990:56) mengungkapkan perlunya pemikiran-pemikiran yang inovatif dalam aspek kurikulum. mengingat masyarakat yang selalu berubah maka kurikulum pun akan selalu berubah. Berdasarkan pemahamannya, kurikulum dapat dipandang sebagai kurikulum tradisional dan kurikulum secara modern[3]. Karena pesantren mampu eksis hingga saat ini maka pesantren tentu memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri dalam mengolah kurikulum tersebut. Oleh karena itu penulis akan memaparkan kurikulum pesantren modern yang bersifat tersembunyi (the hidden curriculum), sebagai bentuk usaha pesantren mengoptimalkan proses pendidikan islam.

B. KURIKULUM PENDIDIKAN
Pendidikan di Indonesia[4] kurang menyentuh nilai-nilai universal manusia dalam langkah mendidik bangsa yang bermutu tinggi. Sudah 63 tahun indonesia merdeka, tapi usaha untuk mencerdaskan kehidupan rakyat seolah-olah jalan ditempat, dalam satu pihak, perangkat lunak pendidikan, termasuk sistem pendidikan dan kualitas SDM guru dan pengelola, masih tersangkut kebijakan tambal sulam. Dipihak lain, sarana dan prasarana pendidikan masih jauh dari memadai karena anggaran biaya pendidikan sangatlah rendah.
Hal ini mengakibatkan, tingkat aksesibilitas anak negeri terhadap pendidikan yang bermutu sangatlah rendah, sementara, kualitas pembelajaran secara umum tidak kian meningkat karena kesejahteraan guru pun tidak berlangsung membaik, tapi satu hal yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana cara yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan dalam menempuh taraf pendidikan yang lebih memadai seperti meningkatkan cara pengembangan kurikulum dengan baik dan benar.
1. Pengertian kurikulum
Istilah kurikulum[5] berasal dari bahasa Latin yaitu “curriculum”, pada awalnya kurikulum mempunyai pengertian “a running course”, dalam bahasa Perancis yakni “couries” berarti “to run / berlari”. Pada tahun 1955 istilah kurikulum baru digunakan itu pun hanya sebatas dalam bidang olah raga saja, dalam kamus Webster dikatakan yaitu sebagai suatu alat yang membawa orang dari start sampai finish, sedangkan dalam studi kependidikan islam istilah kurikulum menggunakan kata manhaj yang berarti sebagai jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Istilah itu kemudian digunakan untuk sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar penghargaan dalam dunia pendidikan yang dikenal dengan ijazah[6], sebagaimana yang telah banyak dikenal oleh masyarakat kebanyakan.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan komponen-komponen pendidikan dan pengajaran yang sistematis[7]. Para pemikir pendidikan memiliki ragam dalam menentukan jumlah komponen tersebut, sebagaimana Soetopo dan Soemanto (1993:26-38) membagi komponen kurikulum dalam lima komponen yaitu : tujuan, isi dan struktur program, organisasi dan strategi, sarana, dan evaluasi, yang mana digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM) pada sekolah yang bersangkutan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum pendidikan islam bersumber dari tujuan pendidikan islam[8]. Tujuan pendidikan islam memiliki perbedaan yang mendasar dengan tujuan pendidikan lainnya, misalnya tujuan pendidikan menurut paham Pragmatism yang menitik beratkan pada pemanfaatan hidup manusia di dunia, yang telah menjadi standard ukurannya sangat relative dengan bergantung pada kebudayaan atau peradaban manusia. Disamping itu paham pragmatism juga lebih mengedepankan prospek pekerjaan dari pada peningkatan etika beragama.
Pendidikan di Indonesia memiliki rancangan kurikulum yang digunakan sebagai acuan untuk mengatur pendidikan nasional (kurikulum nasional)[9]. Kurikulum nasional disusun sesuai dengan jenjang pendidikannya masing-masing dengan selalu memperhatikan: Peningkatan iman dan takwa, Peningkatan akhlak yang mulia, Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, dan Dinamika perkembangan global.
Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Djojonegoro (1995:2), yaitu ada tiga aspek pengembangan oleh pendidikan nasional, yaitu:
1. Aspek spiritual dan imtaq (keimanan, ketaqwaan, berbudi pekerti luhur)
2. Aspek budaya (kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan)
3. Aspek kecerdasan (cerdas, kreatif, trampil, disiplin, etos kerja, professional, produktif).
dalam konteks pengembangan kurikulum seperti diatas harus selalu memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang bertujuan terbentuknya manusia seutuhnya yang sesuai dengan bimbingan nilai-nilai ilahiyyah[10].
Selain dari pada itu, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum[11], yaitu:
1. Fleksibelitas program, artinya dalam pembuatan program harus memperhatikan kondisi anak dari segi manapun.
2. Berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, tujuan dalam belajar pendidikan islam adalah mendekatkan diri kepada allah swt.
3. Kontinuitas, dalam pembuatan kurikulum harus bersifat berkesinambungan, yaitu, saling adanya keterkaitan antara ilmu yang satu dengan yang lainnya.
Kurikulum tidak hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan saja melainkan juga merupakan tindakan-tindakan yang terjadi tanpa perencanaan terlebih dahulu[12] yang disebut dengan “the hidden curriculum”. Kurikulum tersebut memang tidak terencana tapi memiliki pengaruh yang besar dalam proses pembentukan pribadi seseorang, dalam hal ini lembaga sekolah umum khususnya di Indonesia kurang begitu memperhatikannya, dikarenakan pertemuan tatap muka antara guru dan murid hanya sebatas pembelajaran dikelas saja, yang selanjutnya bukan merupakan tanggung jawab seorang guru lagi. Disinilah sebenarnya letak kurikulum tersembunyi itu. Untuk lebih jelasnya penulis akan membahas tentang kurikulum tersebut.

2. Hidden Curriculum
Kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum) adalah kurikulum yang tidak direncanakan[13]. Hilda Taba mengatakan bahwa “curriculum is a plan for learning”, yaitu aktifitas dan pengalaman anak di sekolah harus direncanakan agar menjadi kurikulum, menurut Nasution (1993:11) kurikulum sebenarnya mencakup pengalaman yang direncanakan tetapi juga yang tidak direncanakan yang disebut dengan “hidden curriculum” seperti, cara anak menjawab, mencontek, sikap terhadap asatidz (guru), disiplin dalam belajar, membina mental diri, dan masih banyak hal lainnya. Dalam hal selanjutnya kurikulum dapat dipandang sebagai “ideal / real” curriculum, “potential / actual”, dan juga disebut hidden curriculum[14].
Diantara macam-macam kurikulum pendidikan adalah kurikulum formal, informal, dan non formal. Kurikulum formal mencakup kegiatan di kelas dan bersifat terencana, Kurikulum non formal terdiri atas aktifitas-aktifitas yang juga direncanakan akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran akademis dikelas, dan keberadaan kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap (suplemen) kurikulum formal. Disamping kurikulum-kurikulum tersebut, terdapat juga kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Kurikulum ini antara lain berupa aturan-aturan tak tertulis dikalangan siswa. Seddan (1983) dalam Print (1995:10) menyatakan bahwa[15]:
“….the hidden curriculum refers to the outcomes, which are not explicitly intended by educators. These outcomes are generally not explicitly intended because they are not stated by teachers in their oral or written list of objectifies, nor are they included in educational statement of in intent such as syllabus, school policy documents or curriculum projects....”.
Hal ini menunjukkan bahwa hidden curriculum tidak direncanakan oleh sekolah dalam menjalankan berbagai programnya serta tidak ditulis dan dibicarakan oleh para pendidik (guru). Kurikulum ini murni usaha anak didik (santri/murid) dalam mengembangkan potensi dalam dirinya baik itu berkonotasi positif maupun negative. Dalam hal ini murid berperan sebagai perencana dan pelaku yang berhak akan masa depan yang dia inginkan, dengan kata lain murid sebagai penentu keberhasilan dalam hidupnya.
Hidden curriculum dapat didefinisikan sebagai kurikulum yang berorientasi masa depan. Sebab bila dikaitkan dengan kurikulum pendidikan islam[16] terdapat kesamaan dalam segi tujuannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Idi yaitu kurikulum pendidikan islam merupakan rencana kegiatan bukan aktivitas. Jadi segala yang dialami oleh anak didik dengan adanya perencanaan terlebih dahulu dan dapat berpengaruh terhadapnya itulah yang dinamakan dengan kurikulum.
Dalam konteks kurikulum ini (hidden curriculum) ada satu lembaga pendidikan yang secara tidak langsung telah melakukannya sejak awal mula berdirinya hingga saat ini dalam lembaga pendidikan islam yaitu Pesantren. Sebagai satu-satunya lembaga pendidikan islam yang tulen / asli milik Indonesia yang mengedepankan pendidikan agama hingga saat ini masih mampu bertahan ditengah-tengah arus globalisasi dan modernisasi pendidikan. Dalam dunia pesantren terdapat manhaj yang lebih memprioritaskan terbentuknya para ulama-ulama masa depan.
Pesantren adalah system pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indigenous[17]. Pada awal mulanya pesantren berbentuk pengajian yang diadakan dirumah kyai yang mana selanjutnya disebut dengan pesantren salafiah, seiring dengan berkembangnya peradaban dunia pada akhirnya terjadilah perubahan menjadi pesantren modern, seperti Pondok Modern Darussalam Gontor, Pondok Pesantren Al-Ishlah Lamongan, Pondok Pesantren Darul Ulum, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk lebih spesifik lagi penulis akan menguraikan tentang pengertian Pesantren Modern dan kurikulum-kurikulumnya yang mana dapat menjadikan pesantren survive hingga saat ini.

C. PESANTREN MODERN
Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Dengan adanya definisi ini maka pesantren kilat atau pesantren ramadhan yang diadakan disekolah-sekolah umum misalnya, tidak termasuk dalam pengertian ini[18]. Dalam bab ini akan dibahas tentang pesantren modern.

1. Pengertian Pesantren Modern
Pesantren berasal dari akar kata “santri”, yang menurut Johns berasal dari bahasa Tamil “satri” yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan menurut C. C. Berg, berasal dari bahasa india “shastri”, yang berarti “buku suci, buku agama atau buku ilmu pengetahuan”. Sedangkan menurut Robson santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” artinya orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan secara umum[19].
Dalam decade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan islamisasi dan re-islamisasi dikalangan umat islam Indonesia. Istilah yang lebih popular untuk mengambarkan kecenderungan tersebut adalah “santrinisasi” yang berasal dari kata “santrinization”-bentuk bahasa Inggris dari istilah Jawa- “santri” yang berarti “mereka yang berasal dari pesantren “, atau disebut juga dengan mereka yang taat menjalankan agama islam[20].
Pondok berarti tempat menumpang sementara, pesantren berarti tempat para santri, sedangkan santri berarti pelajar yang menuntut ilmu agama islam[21]. Di jawa tempat ini disebut “pondok” atau “pesantren” atau “pondok pesantren”. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan pondok atau pesantren , karena keduanya merujuk pada satu pengertian yang sama. Sebutan Pondok Tebuireng, Pondok Termas, Pondok Krapyak, atau Pesantren Tebuireng, Pesantren Termas atau Pesantren Krapyak tidak menunjukkan perbedaan makna.
Secara definitif, KH. Imam Zarkasyi mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam dengan system asrama atau pondok, dimana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya dan pengajaran agama islam sebagai kegiatan utamanya. Maka, kyai, santri, masjid, pondok atau asrama, dan pendidikan agama islam adalah unsur terpenting dalam pesantren[22].
Hingga saat ini pesantren masih disebut-sebut sebagai gudang kitab Al-Dirasah Al-Islamiyah, dan juga sering disebut sebagai pusat kajian islam, disamping sebagai basis dakwah dan pendidikan islam. Disamping itu, lembaga-lembaga pendidikan yang ada saat ini, baik sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda dan pondok pesantren itu sendiri, timpang dalam materi pengajarannya[23]. Yang mana disatu sisi mementingkan materi agamanya (pondok pesantren) dan disisi lain mementingkan materi umumnya (sekolah Belanda). Sehingga pada akhirnya nanti akan terjadi, yang lulus dari sekolah umum tidak tahu akan ilmu agama dan yang sekolah di pesanten kurang tahu tentang ilmu umum, oleh karena itu perlu adanya integrasi pengetahuaan supaya tidak terjadi berat sebelah.
Di negeri muslim, seperti mesir dan india, telah muncul semangat modernisasi lembaga pendidikan yang dianggap tidak lagi mampu merespon perubahan zaman[24]. Modernisasi pendidikan islam dapat dilacak akarnya dalam gagasan mengenai modernisasi pemikiran dan kelembagaan islam secara keseluruhan. Gagasan ini berpijak pada suatu kenyataan bahwa kebangkitan islam di era modern mempersyaratkan adanya modernisasi pendidikan islam, yakni dalam rangka memberdayakan masyarakat muslim dalam menghadapi tantangan dunia modern disegala bidang kehidupan.
Modernisasi pendidikan tradisional islam di Indonesia lahir seiring dengan dikampanyekannya “etische politiec” (politik etik) oleh Belanda. Kebijakan politik pendidikan kolonial itu sesungguhnya diinspirasi oleh Inggris yang ketika itu mencanangkan pendidikan “bumi putra” di bumi-bumi pendudukannya, seperti india, dan juga mesir. Pencanangan politik etik dalam bidang pendidikan ini menghasilkan suatu system pendidikan modern yang menjadi pangkal system pendidikan “umum” di tengah kita sekarang ini, yakni, system pendidikan yang berada dibawah departemen pendidikan nasional.
Salah satu pemikiran modernis Indonesia adalah introspektif atau kritis kedalam, namun mereka (pemikir modernis) sering juga melakukan cara “shock terapy” atau kejutan[25]. Kejutan tersebut adalah berupa tindakan pengajaran secara spontanitas yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan, pengajaran dipondok pesantren modern menggunakan system klasikal, sebagaimana diterapkan di sekolah-sekolah umum atau madrasah-madrasah. Dengan meninggalkan system sorogan ala pesantren tradisional, pesantren modern melakukan alat bantu kapur dan papan tulis, guru pun mengajar dengan berdasi dan berpantalon. Inilah yang disebut dengan cara yang berciri modern.
Sama halnya dengan penggunaan bahasa dalam pembelajaran pesantren modern, yang mana sangatlah penting digunakan untuk memahami berbagai jenis kitab yang berbahasa asing (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris) bukan hanya kitab-kitab kuning (klasik). Demikian pula dengan pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan dengan metode Berlitz, dalam pesantren modern para santri diajari bagaimana cara untuk dapat berbicara secara aktif dalam Bahasa Inggris disamping membaca dan menulis.
Adapun hal-hal yang bersifat modern selain yang telah disebutkan diatas, yaitu[26]:
1. Cara berpakaian ketika masuk kelas, tapi mesti pakai sepatu serta kemeja dimasukkan.
2. Keadaan kelas diatur secara rapi.
3. Disiplin dalam masuk kelas.
4. Bertingkah sopan santun.
5. Meninggalkan tingkah laku pondok yang kurang baik.
6. Bahasa asing sebagai bahasa interaksi dan sebagai bahasa pengantar mengajar.

2. Kurikulum Pesantren Modern
“Education is the best means of creating a new generation of young men and woman who will not lose touch with their own tradition but who will not at the same time become intellectually retarded or educationally backward or unaware of developments in any branch of human knowledge. Unfortunately such a system of educaton is not yet prevalent in any of the muslim countries”. (Husayn And Ashraf, 1979:16)
Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, disamping faktor-faktor lainnya, yaitu: adanya pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Oleh Hiroko Horokhosi, yang melihat pesantren kemudian merumuskan tentang tujuan terbentuknya dari segi otonomi, yakni pesantren bertujuan untuk melatih para santri memiliki kemandirian, berbeda dengan Manfred Ziemek yang merumuskan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan[27].
Kurikulum bukanlah sekedar susunan mata pelajaran didalam kelas, tetapi merupakan seluruh program pendidikan baik yang terencana maupun yang tidak direncanakan (hidden curriculum). Ini menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran dipesantren modern bukanlah tujuan yang berdiri sendiri, melainkan dipersatukan secara integral dengan tujuan pendidikan pesantren secara keseluruhan, tujuan pesantren pada umumnya yaitu mencetak ulama’ yang intelek bukan intelek yang sekedar tahu agama, disamping itu pesantren juga bertujuan membentuk manusia yang alim, shaleh dan berguna untuk masyarakat dan bangsa.
Dalam seluruh bentuk kegiatan di pondok modern yang bersistem madrasah dan berjiwa pesantren ini saling terkait dan saling mendukung, sebagaimana “prinsip integrasi”[28] yaitu “semua yang ada dipondok ini sengaja diciptakan untuk pendidikan”. Begitu juga dengan “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah” (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai yang baru yang lebih baik).
Mengutip dari ungkapan KH. Imam Zarkasyi[29], pondok atau pesantren adalah tempat menggembleng bibit umat. Ini terjadi sejak 1000 tahun yang lalu, baik di Indonesia maupun diluar Indonesia, maka dari itu, tempat pendidikan pemuda-pemuda yang berupa pondok ini sudah ada di Indonesia sebelum adanya sekolah-sekolah ala Barat, untuk itu pendidikan di pondok itulah yang sebenarnya disebut dengan pendidikan Nasional, yang tulen atau pure national.
Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh lembaga pesantren adalah dari segi penerapan system asrama. Asrama memberikan berbagai manfaat antara lain: interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan control terhadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu, menimbulkan stimulus/rangsangan belajar dan memberi kesempatan dalam pembiasaan[30].
a. Isi kurikulum
Kurikulum pesantren modern bersifat aksademik, yang dibagi menjadi beberapa bidang studi. Yakni, pertama, Bahasa Arab, meliputi, Al-Imla’, Al-Insya’, Tamrin Al-Lughah, Al-Muthalla’ah, Al-Nahwu, Al-Sharf, Al-Balaghah, Tarikh Al-Adab, Dan Al-Khatt Al-Arabi, yang mana semuanya itu disampaikan dengan menggunakan Bahasa Arab. Kedua, Diratsah Islamiyah, yang meliputi, Al-Qur’an, Al-Tajwid, Al-Tauhid, Al-Tafsir, Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits, Al-Fiqh, Ushul Al-Fiqh, Al-Fara’id, Tarikh Al-Islam. Ketiga, Bahasa Inggris, meliputi, Reading and Comprehension, Grammer, Composition, dan Dictation. Keempat, Ilmu Pasti mencakup Berhitung dan Matematika, Kelima, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Yang menonjol dari hal kurikulum ini adalah seperti pemahaman pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor (KH. Imam Zarkasyi) terhadap konsep ilmu. Ia menangkap bahwa islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum[31]. Maka dalam menggambarkan porsi materi pelajaran dalam kurikulum pesantren modern yang diterapkannya [KMI], ia menyatakan 100% agama dan 100% umum. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan umum itu sebenarnya adalah bagian dari ilmu pengetahuan agama, dan sama pentingnya, latar belakang pemikirannya ini berangkat dari kenyataan bahwa sebab terpenting kemunduran umat islam adalah kurangnya ilmu pengetahuan umum pada diri mereka.
Tidak banyak lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum seperti yang disebutkan diatas. Lain dari pada itu maraknya pendidikan yang hanya mengambil setengah kurikulum agama dan setengah kurikulum umum kemudian diterapkan dalam sekolah-sekolah yang pada akhirnya dapat menimbulkan disintegrasi pendidikan.
Adapun pandangan pendidikan dalam lembaga lain seperti kebanyakan diterapkan pada saat ini yaitu[32]:
• Madrasah dengan 70% kurikulum pesantren + 30% kurikulum sekolah umum.
• Sekolah islam dengan 30% kurikulum pesantren + 70% kurikulum sekolah umum.

b. Strategi kurikulum
Pembahasan ini meliputi, Metode, Kaidah-Kaidah, Langkah-Langkah, Evaluasi, dan Supervise dalam pengajaran. Pertama, Metode adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan pelajaran seperti, metode ceramah, latihan, tanya jawab, penugasan, dan praktek. Sebagaimana falsafah Pondok Modern Darussalam Gontor : “al-kalimah al-wahidah fi alfi jumlah khoirun min alfi kalimah fi jumlatin wahidah” yang artinya, “mengetahui satu kata dan mampu meletakkan dalam seribu kalimat sempurna, lebih baik dari pada mengetahui seribu kata, tetapi hanya dapat meletakkannya masing-masing dalam satu kalimat sempurna”. Kedua, Kaidah pembelajaran kurikulum. Yang mana dalam memberi materi harus dimulai dari materi yang mudah dan sederhana. Ketiga, Langkah-langkah mengajar, yang meliputi sebelum dan sedang mengajar. Kelima, Evaluasi, evaluasi digunakan sebagai sarana perbaikan dan koreksi untuk yang lebih baik.

c. Penerapan Profesionalisme dalam Pesantren Modern
I. Pengertian profesionalisme
Untuk meningkatkan mutu pendidikan memerlukan sekurang-kurangnya dua syarat yang tidak boleh tidak dipenuhi, pertama, penguasaan teori pendidikan modern, yaitu teori yang islami dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, ketersediaan dana yang cukup[34]. Pesantren sebagai lembaga yang memiliki kurikulum pendidikan haruslah menguasai dan juga mampu mengaplikasikan teori pendidikan dalam mendidik santri.
Salah satu bentuk teori islami adalah profesionalisme seorang guru / asatidz. (Dr. Ahmad Tafsir.113). Yakni kemampuan para pengajar (asatidz / asatidzah) dalam megaplikasikan suatu kurikulum yang telah tersusun. Dalam lingkungan pesantren khususnya pesantren modern sudah banyak yang menerapkannya, seperti dalam Pondok Modern Darussalam Gontor ketika memilih pengajar terlebih dahulu untuk memenuhi kwalifikasi yang diperlukan, baik dari segi dzikir maupun pikir[35], supaya meteri yang ada dapat dijabarkan secara menyeluruh.
Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjutan dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang bermanfaat, dalam aplikasinya menyangkut aspek-aspek yang lebih bersifat mental daripada yang bersifat manual work[36]. Orang yang profesional adalah orang yang memilliki profesi. Sedangkan profesi itu sendiri ialah merupakan panggilan hidup dan keahlian, seperti yang dikatakan oleh Waterink. Guru yang profesional adalah guru yang sadar akan menjadi pendidik dan memiliki dasar utama yaitu, "Rouping" atau panggilan hati nurani[37].
Suatu bidang disebut profesi apabila memiliki cirri-ciri yakni "dedikasi" dan "keahlian". Menurut Mukhtar Luthfi dari Universitas Riau (lihat mimbar,3,1984:44), seorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) memiliki keahlian, 2) merasa bahwa itu adalah merupakan panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu, 3) siap mengabdi untuk masyarakat bukan untuk diri sendiri, 4) memiliki anak didik yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan. Dari kriteria-kriteria diatas jelaslah bahwa profesionalisme seorang guru tidak dapat dianggap remeh dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
II. Guru Atau Pengasuh
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Yang mana terdapat guru sebagai pengajar atau pendidik dan siswa sebagai objek yang memerlukan pendidikan untuk berkembang lebih maju. Dalam hal pesantren pendidik dinamakan dengan pengasuh atau asatidz / asatidzah sedangkan murid adalah santri-santri yang siap mendapatkan pendidikan dalam lingkungan asrama.
Pengertian yang terkandung dalam istilah "guru" dalam situasi yang tidak resmi adalah orang yang dalam dirinya memiliki atau dapat mewujudkan pengetahuan tertentu, baik keterampilan atau keyakinan[38]. Seorang guru baik pria maupun wanita dipandang sebagai manusia yang memikul tanggung jawab profesi penuh atas pendidikan anak-anak dan kaum remaja yang sedang menuntut ilmu di bangku sekolah[39]. Guru memang memiliki peran penting dalam proses belajar mengajar, sebab tanpa adanya guru, murid akan enggan untuk belajar di lingkungan sekolah atau pesantren.
Proses belajar mengajar memiliki tujuan ideal yaitu agar bahan yang dipelajari dapat dikuasai sepenuhnya oleh murid. Hal seperti ini disebut dengan "mastery learning" atau belajar tuntas, artinya penguasaan penuh. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila guru mampu meninggalkan kurva normal sebagai patokan keberhasilan mengajar[40], sebagaimana tugas guru yaitu menciptakan suasana dan fasilitas yang sebaik-baiknya agar proses belajar dapat dilaksanakan dengan baik[41]. Seorang guru hendaknya dapat memahami setiap perilaku siswa karena itu akan lebih memudakan dalam proses mengajar, tetapi saat ini kebanyakan guru hanya memperhatikan materi pembelajaran yang cocok untuk diberikan kepada siswa bukan memikirkan bagaimana metode penyampaian yang tepat kepada siswa.
Dalam konsep guru ini pesantren modern lebih sering menyebutnya sebagai pengasuh atau asatidz. Selain itu pesantren modern seperti PMDG juga memiliki falsafah:
الطريقة أهم من المادة ...والأستاذ أهم من الطريقة ...وروح الأستاذ أهم.
“metode itu lebih penting dari pada materi, dan guru lebih penting dari pada metode, tapi yang paling penting adalah jiwa pengajar itu sendiri”. Disinilah keserasian antara konsep Weterink dengan konsep pesantren modern, seperti yang disebutkan diatas yaitu pengasuh harus memiliki dasar utama yang dinamakan dengan “rouping” atau kesadaran diri, hal inilah yang disebut dengan ‘jiwa mudarris’.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya 'Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam' yaitu, untuk menguasai pemikiran manusia, kuasailah sekolah. Sebab karena inilah yang menjadi bahaya apabila orang islam menyekolahkan anaknya ke sekolahan katolik, begitu juga dengan sebaliknya. Dari sinilah guru harus benar-benar memahami peranannya sebagai seorang pendidik atau pengasuh bukan sekedar sebagai pengajar, dengan adanya pendidikan di pesantren akan dapat mempermudah dalam proses mencerdaskan ummat, oleh karena itu untuk menjadi seorang pemgasuh haruslah cakap dan berkepribadian baik.
Mengutip dari Ahmadu Bello University di Nigeria yang menerapkan cara pendekatan supaya dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Pada tahun 1972 telah diperkenalkan pendidikan yang terdiri dari tiga bagian, tahap pertama, meliputi persiapan profesi selama sepuluh minggu untuk mengikuti kuliah diperguruan tinggi. Tahap kedua, satu tahun penuh mengajar di sekolah dan selama itu para mahasiswa selalu mendapat pengawasan tapi mempunyai status dan kondisi sebagai guru biasa. Dan tahap ketiga, kursus sepuluh mingu di Universitas untuk memperoleh ijaza selama lima belas bulan setelah pendaftaran pertama[42].
Guru yang berkompeten adalah guru yang mahir dalam bidangnya masing-masing. Untuk saat ini, yang dibutuhkan bukanlah guru-guru yang memiliki sertifikat banyak atau seorang sarjana, tetapi alangkah baiknya jika seorang guru itu paham akan profesinya sebagai guru dan benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan sebagai guru dalam mendidik siswa yang sedang berkembang[43], yang mana diperlukan tenaga ahli yang dapat mengerti dan memahami tingkah laku siswa tersebut.
Orang tua disebut juga sebagai guru, bahkan orang tua itulah yang harus lebih profesional dalam mendidik, orang tua harus dapat menanamkan jiwa yang baik dalam diri anak sejak pertama ia lahir hingga remaja. Seperti yang diungkapkan oleh Bijau, "Banyak ahli psikologi anak yang mengatakan bahwa tahun-tahun prasekolah, sekitar dua sampai lima tahun adalah salah satu tahapan yang penting"[44], ini menandakan, sebelum seorang anak dibawa ke bangku sekolah orang tua harus lebih dulu mendidiknya guna menjadikan anak tersebut berpendidikan yang lebih baik. Dalam pesantren peranan orang tua digantikan oleh para pengasuh karena pesantren bersifat asrama.

D. PENUTUP
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan, secara garis besar, ada tiga hal yang menjadikan pondok pesantren tetap istiqomah dan konsisten. Aspek pertama, yaitu, nilai, system, dan materi pendidikan pondok pesantren. Nilai-nilai pondok terletak pada jiwa pondok itu sendiri sehingga dapat mencerminkan hakikat pondok tersebut. Aspek kedua adalah system asrama yang penuh dengan disiplin. System asrama ini mendukung terciptanya keterpaduan tripusat pendidikan: pendidikan sekolah (formal), pendidikan keluarga (informal), dan pendidikan masyarakat (nonformal). Aspek ketiga adalah materi, materi yang ada dalam pondok pesantren adalah mempresentasikan kurikulum yang ada, yaitu, kurikulum yang merupakan perpaduan antara ilmu agama (revealed knowledge) dan kawniyah (acquired knowledge). Jadi dalam pesantren telah terjadi intregasi ilmu. Disamping itu adanya hidden curriculum yang diterapkan oleh masing-masing santri juga dapat menunjang mutu pendidikan mereka,
Selain dari pada itu, dalam proses pengembangan pendidikan, pesantren lebih mengedepankan pendidikannya ke arah tujuan pokok pendidikan pesantren, yaitu “Tafaqquh Fi ad-Diin”, dengan mengedepankan uswatun hasanah, pendidikan mental, attitude, dan disiplin, guna mencetak ulama’ yang intelek dan tokoh masyarakat dengan menerapkan system belajar yang efektif dan efesien.

E. DAFTAR PUSTAKA

A, M, Sudirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet.VII.
Amir Feisal, Prof. Dr, Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Djohar, H, Ms, Prof, Dr, Pendidikan Strategic, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2003.
Goble, Norman, M, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
Hurlock, Elizabeth, B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1991, Edisi V.
Idi, M.Ed, Drs, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik, Jakarta: Gaya Media, 1999.
Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996,
Madjid, Nurkholish, Dr, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. VII.
Mastuhu, M. Me, Prof, Dr, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.
Nasution, MA, Prof, Dr, Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nasution, MA, Prof, Dr, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, Cet. IV
Noman. M, Goble, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
Prof. Dr. Mujamil Qomar, M. Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Isntitusi, Jakarta: Erlangga, 2005.
Rahim, Dr, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Rahmat. Prof. Dr, Jalaluddin, Et. Al, Prof. Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. II.
Tafsr, Dr. Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet.VII.
Tilaar, H. A. R., M, Sc, Ed, Prof, Dr, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000, Cet. I.
Zarkasyi, MA, K.H. Abdullah Syukri, Manajemen Pesantren, Pengalaman Pesantren Pondok Modern Gontor, Gontor: Trimurti Press, 2005, Cet. II
Zarkasyi, MA, K.H. Abdullah Syukri,, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005.

Endnote
[1] Munculnya modernisme islam, didorong adanya kesadaran akan kemunduran umat islam yang disebabkan oleh semakin banyaknya orang yang meninggalkan ajaran utamanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), (Mukti Ali), oleh karena itu ajakan modernisme islam yang paling lantang adalah “mari kita kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah semurni-murninya”. (Jalaluddin Rahmat, Prof. Dr. Nurcholish Majid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. III, Hal.22)
[2] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M. Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Isntitusi, Jakarta: Erlangga, 2005.
[3] Secara tradisional, kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Menurut Nasution (1993:9), kurikulum tradisional seperti ini masih banyak dipakai sampai sekarang. Secara modern, kurikulum mempunyai pengertian tidak hanya sebatas mata pelajaran (course) tapi menyangkut pengalaman-pengalaman diluar sekolah sebagai kegiatan pendidikan juga. (Drs. Abdullah Idi, M. Ed, Pembangunan Kurikulum, Teori dan Praktek, Jakarta: Gaya Media, 1999, Cet. I, Hal. 4)
[4] Pendidikan di Indonesia difahami sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang System Pendidikan Nasional, Pasal 1, No.1)
[5] Dalam bahasa Yunani kurikulum diartikan sebagai “jarak yang harus ditempuh oleh pelari”. sehingga kurikulum dalam pendidikan dapat diartikan sebagai sejumlah pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan oleh anak didik. (K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M, A, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada, 2005, Hal 78)
[6] Drs. Abdullah Idi, M, Ed, op. cit. Hal.3-4
[7] K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren, Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005, Hal. 141
[8] Dasar kehidupan adalah pandangan hidup, T.S. Elit (lihat Du Bois,1979:14) menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu tujuannya harus diambil dari pandangan hidup. Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan islam adalah membentuk manusia yang baik, Marimba (1964:39) berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya kepribadian muslim, menurut Al-Abrasyi (1974:15) tujuan akhir pendidikan islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Dengan mengutip surat At-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia, jadi menurut islam pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi hamba yang selalu beribadah kepada allah SWT. (Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII, hal.46)
[9] Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan dengan prinsip diverifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (UU RI.No.20, tahun 2003, bab X, pasal, 36)
[10] Prof. Dr. Ahmadi, Ideology Pendidikan Islam:Paradigma Humanism-Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
[11] K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M, A, op.cit, hal. 81-82
[12] bahwa tujuan terbesar bukanlah pengetahuan melainkan tindakan. (Herbert Spenser, Sosiolog Inggris, 1820-1950)
[13] Drs. Abdullah Idi, M, Ed, op. cit. hal. 10.
[14] Prof. Dr. S. Nasution, M.A, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, Cet. IV, Hal. 1.
[15] Drs. Abdullah Idi, M, Ed, op. cit, hal. 6.
[16] Kurikulum pendidikan islam mengandung makna sebagai suatu rangkaian program yang mengrahkan kegiatan belajar mengajar yang terencana dengan sistematis dan berarah tujuan, dalam definisi luas, maka kurikulum pendidikan islam berisikan materi yang untuk pendidikan seumur hidup (long life education). Ibid, hal. 117.
[17] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M, Ag, op. cit, hal.82
[18] Ibid, hal, 2
[19] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1984, Hal.18) dalam KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Ma, Op. Cit, Hal.59
[20] istilah “santri dan “abangan”, serta “priyayi”-elite birokrasi jawa kuno-dipopulerkan oleh Clifford Geertz melalui karyanya religion of java (New York: Free Press, 1960). Prof. Dr. Azzumardi Azra, M, A, Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millennium Baru, Ciputat: Logos, 1999, Hal. 69
[21] K.H. Imam Zarkasyi, teks sambutan dalam acara pertemuan silaturrahmi halal bi halal IKPM cabang Jakarta, 1984.
[22] KH. Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996, Hal. 56.
[23] Manajemen pesantren, op.cit, hal. 51
[24] Ibid, hal, 46.
[25] lihat, M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia, dalam buku Islam Dan Benturan Antar Peradaban Karya Dr. Zubaidi, M, Ag, M. Pd, Hal. 155.
[26] dalam buku K.H. Imam zarkasyi dimata umat
[27] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M, Ag, op. cit, hal. 4
[28] KH. Imam Zarkasyi, teks sambutan dalam acara pertemuan silaturrahmi halal bi halal IKPM cabang Jakarta, Jakarta, 1984, dari Gontor merintis pesantren modern, op. cit, hal. 67
[29] Pidato Pj. Rector Pada Pembukaan Perguruan Tinggi Darussalam, 1963, Dalam buku Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, op. cit, Hal. 43.
[30] Prof. Dr.Mujamil Qomar, M, Ag, op .cit, Hal. 83]
[31] dari Gontor merintis pesantren modern, op. cit, hal. 51.
[32] Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Hal, 184.
[33] Fakultas Tarbiyah, At-Ta’dib, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3 No. 2, Gontor, Sya’ban 1428,
[34] Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII, Hal. 107.
[35] Hamid Fahmi Zarkasyi, Mohd. Fauzi Hamat, Metodologi Pengkajian Islam, Pengalaman Indonesia-Malaysia, Surabaya: Institute Studi Islam Darussalam, 2008, Hal. 351.
[36] Sudirman, A, M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.VII, 2000, Hal. 131.
[37] Ibid, hal. 135.
[38] Guru juga biasanya memberikan penilaian suatu tindakan terpuji ila bila suatu pengetahuan itu disebarkan juga kepada orang lain. Norman, M, Goble, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983, hal.45
[39] Ibid, hal.108.
[40] Prof. Dr. S. Nasution, MA, Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,1995, Hal. 36

[42] Para calon harus mengikuti tiga komponen yang terpisah, yaitu: teori, praktek, mengajar dan studi riset. Noman. M, Goble, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983, hal.164
[43] Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Van dan Daele "perkembangan berarti perubahan secara kualitatif". Ini berarti perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dari bentuk struktur dan fungsi yang kompleks. Elizabeth, B, Hurlock, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1991, Edisi V, Hal. 2
[44] Periode itu adalah periode dimana diletakkan dasar struktur perilaku yang kompleks yang dibentuk dalam kehidupan seorang anak. Ibid, hal.5-6

  ©Template by Dicas Blogger.