Tuesday, August 11, 2009

Pendidikan Yang Dipaksakan: Telaah Problem Di Indonesia

“Knowledge is power, but character is more”[1]. Inilah statement yang membuat banyak orang pesimis akan pendidikan di Indonesia ini. sebab yang yang terjadi pada pendidikan di Indonesia adalah kebalikan dari statement diatas. Pendidikan kita cendrung untuk mengeksploitasi anak agar mampu bersaing dengan yang lainnya demi memperoleh pekerjaan yang ujung-ujungnya adalah “kesejahteraan di bidang ekonomi”[2], mendapatkan pekerjaan yang layak, menjadi orang yang kaya. Karena ukuran untuk mendapatkan pekerjaan adalah kepemilikan Izajah, sementara Izajah isinya adalah deretan angka yang diperoleh anak ketika menjawab soal ujian, maka jelaslah yang menjadi goal terbesar dalam pendidikan kita adalah otak. Orang tua akan malu apabila nilai matematika anaknya tiga, atau dua. Segala cara dilakukan dengan mengkursuskan anak pada tempat-tempat kursus favorite, agar terhindar dari rasa malu akibat nilai jelek yang diperoleh anaknya. Ukuran suksesnya pendidikan hanya terpaku pada besar kecilnya nilai anak dalam sebuah ujian.
“Sekolah bla-bla menerima pendaftaran siswa-siswi baru, di jamin lulus 100% .. di jamin langsung di terima kerja di berbagai instansi pemerintahan” begitulah iklan sekolahan yang sering kita baca. Dari situ saja sudah bisa ditebak; bahwa orientasi sekolahan adalah menciptakan tenaga kerja. Anak dipacu demikian rupa untuk bisa melalui tahapan Ujian dengan berbagai upaya, mulai dari belajar bersama hingga do’a bersama, istighosah dan lain sebagainya, semua itu dilakukan dengan sebab satu hal, takut jika gagal dalam ujian, kegagalan dari ujian berarti kegagalan mendapatkan izajah, dan kegagalan mendapatkan Izajah adalah kegagalan untuk berkompetisi dalam memperoleh Pekerjaan sebagai Pegawai. Maka jika kita telusuri sesungguhnya sekolah tidak beda dengan pabrik; bahan baku yang dikelolanya; manusia, hasil produksinya; Tenaga kerja.
Manusia disebut manusia bukan karena ia memiliki otak saja, melainkan ada demensi yang lainnya dimana dengannya manusia bisa dibedakan dengan mahluk yang lain. Di samping otak, ada hati dan jiwa. Pendidikan yang hanya terfokus pada penglolaan kemampuan otak saja akan gagal membangun seseorang menjadi manusia. Akibatnya banyak anak pintar lahir dari model pendidikan kita, tetapi akhlak dan charakternya tidak tumbuh, dan cendrung rusak. Maka sekolah yang baik adalah sekolahan yang berorientasi kepada aktualisasi anak didiknya. Mengelola seluruh demensi yang dimilik oleh seorang anak, ya otaknya, ya hatinya, ya jiwanya. Ketiga demensi itu harus dikelola secara seimbang agar tidak terjadi ketimpangan ketika anak harus bersosialisasi. Kemampuan anak dalam aktualisasi diri di tengah masyarakatnya terkait erat dengan kematangan secara akal, hati dan jiwa sekaligus. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pembentukan daya kognitif otak saja dan memalingkan dari pengembangan spiritual, dan pengembangan emosional anak, adalah aborsi dalam pendidikan; memaksa anak untuk lahir sebelum waktunya.
“Early Ripe, early rot…” cepat masak, cepat busuk… mengingatkan kita agar tidak tergesa-gesa dalam membentuk anak untuk segera jadi, dan siap berkompetensi dalam hidup. Ada tren dalam masyarakat kita untuk sesegera mungkin melihat anaknya berprestasi. Sejak usia dini sudah dikenalkan dengan program-program pendidikan, dimana program-program itu telah menjajah jiwa anak yang bebas menjadi terikat, hingga waktu yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan jiwanya dengan bermain; terkorupsi oleh keinginan orang tua untuk melihat anaknya menjadi anaknya yang unggul. Sebut saja misalnya; tuntutan wali murid agar anaknya segera mampu membaca, telah menggiring guru-guru TK memaksa anak-anak untuk mampu membaca. “Pendidikan kita cendrung memperkosa dibanding membebaskan”. Begitu ujar guruku.
Mengembalikan jiwa pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menjadikan manusia yang hatinya mencahaya dan pikirannya terang benderang “good and smart”. Dan hal itu mungkin dilakukan jika setiap guru yang ada memiliki pemahaman yang benar dengan konsep pendidikan. Karena ketidak mampuan guru/pendidik dalam menghadapi persoalan pendidikan, atau salah dalam memahami orientasi pendidikan, akan membawa anak didik dan orang tua murid salah juga dalam mengorientasikan hidupnya.

II. TUJUAN PENDIDIKAN
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing masing dengan tingkat keragamannya sendiri. Pandangan teoritis yang pertema berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar.[3]
System pendidikan yang diterapkan di Negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Pandangan ini dianut oleh aliran Perenial atau aliran Transmisi Kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato, sarjana Barat Abad Pertengahan, dan beberapa sarjana modern, seperti William T. Harris, Robert Hutchins, dan Adler di Amerika, juga aliran Rekonstruksi Sosial Modern yang diwakili oleh George S. Count, Paulo freire di Brasil, dan Jurgen Habermas di Jerman. Sebaliknya, hampir semua agama besar menganut pandangan yang berorientasi kepada Individu[4]
Mereka yang meyakini pendidikan sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam membentuk masyarakat beranggapan bahwa masyarakat jauh lebih penting dari individu. Meskipun tidak sepenuhnya diabaikan dalam praktik pendidikan yang berorientasikan kemasyarakatan, kebutuhan dan minat peserta didik menduduki posisi kedua setalah kebutuhan dan minat masyarakat, sejauh kebutuhan dan minat peserta didik memiliki kaitan dengan kebutuhan dan minat masyarakat.
Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orangtua mereka. Dengan kata lain, pendidikan adalah jenjang mobilitas social-ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka, meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.
Pendidikan Islam tradisional selalu menjadikan keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan yang terpenting. Namun, filsafat pendidikan yang lebih memfokuskan individu ini secara perlahan-lahan berubah ke bentuk yang lebih memfokuskan pemenuhan kebutuhan dan minat masyarakat sejak umat Islam berada di bawah pengaruh pemikiran dan institusi institusi Barat. Sekarang ini, Pendidikan menjadi alat mobilisasi social ekonomi individu atau Negara. Dominasi sikap seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan “Penyakit diploma” (diploma disease), yiaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial[5]


III. VISI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah agen pembangunan dan perkembangan dalam rangka menciptakan generasi yang tidak ketinggalan zaman. Karena itu pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia agar tidak sekedar menjadi manusia penerima arus informasi global, namun harus memberikan bekal kepada manusia agar dapat mengolah, meyesuaikan dan mengembangkan apa yang diterima melalui arus informasi itu, dengan demikian visi pendidikan adalah menciptakan manusia yang kreatif dan produktif.[6]
ciri ciri manusia produktif adalah; ia menerima dirinya sendiri secara ihlas, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Tidak larut dalam kebanggaan atas kelebihan yang dimiliki dan tidak mandeg karena kelemahan dan kekurangan dalam dirinya. Dengan sikap yang demikian maka ia akan mampu memikirkan apa yang dapat dilakukannya dengan segenap sifat yang ada pada dirinya. Yang kedua adalah; ia menerima lingkungan hidupnya secara ihlas. Ihlas dalam hal ini bermakna ia tidak menyesal karena berada di desa, di lingkungan yang kurang makmur, atau disebuah Negara yang kurang maju. Menerima seluruh kekurangan yang terdapat dalam lingkungannya. Dengan begitu ia akan mampu menangkap kemungkinan-kemungkinan yang terbentang di depannya. Ketiga adalah; manusia produktif adalah manusia yang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan zamanya. Tanpa kepekaan itu mustahil ia mampu untuk menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Keempat adalah; manusia yang memiliki kemampuan bekerja dan berkarya karena mengenal dan menguasai metode-metode kerja yang terdapat dalam bidang garapannya.[7]
Manusia yang kreatif dan produktif sebagai target pendidikan adalah visi umum dari pendidikan, karenanya masih harus diperinci lebih lanjut bagaimana membentuk karakter yang demikian itu ke dalam jiwa anak didik. Misalnya bahwa pendidikan jangan hanya semata mata menekankan pada pengisian otak, tapi juga pengisian jiwa. Upaya yang demikian adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan tauhid. Yaitu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran itu adalah bukti kasih sayang Allah karenanya harus diabadikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya-karya kemanusiaan yang ihlas.

IV. PROBLEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Problem dalam pendidikan yang ada di indonisia adalah; bentuk pendidikan yang bersifat Parsial, Pragmatis, dalam banyak hal justru bersifat paradox[8]. Parsial, karena pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan dan melupakan pendidikan ahlak dan moral. Hal tersebut menjadikan hasil dari pendidikan yang semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang trampil dan cerdas secara intelektual namun miskin dalam peringai dan tingkah laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun rusak moral dan ahlaknya. Pendidikan yang demikian adalah agen untuk melayani kepentingan dan kebutuhan hidup yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakatnya industry maka yang laku adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan tehnologi maka yang laris adalah fakultas tehnik informatika dan lain sebagainya.
Bersifat Praktis dan pragmatis[9], hal tersebut tercermin dalam orientasi pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam banyak hal sekolah sekolah didirikan dengan konsep siap pakai, siap kerja, siap latih. Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran ukuran yang sederhana, berapa lama kuliah dapat diselesaikan, IPK yang dapat dicapai. Kesuksesan sebuah lembaga pendidikan dilihat dari seberapa cepat anak didiknya diterima di lapangan kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Dan hal yang demikian bertolak belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam. dimana dimensi terpenting dari hidup manusia yang menjadi orientasinya, bagaimana pendidikan dapat memberikan pengaruh dalam jiwa peserta didik untuk mengembangkan manusia menjadi semakin bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, trampil dan lain sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak menyentuh aspek substansi atau yang hakiki dan inti tersebut, melainkan hanya pada kisaran kulit dan kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia.[10]
Bersifat paradox, Pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di Indonesia sulit sekali menemukan seorang guru yang ideal, yang menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad samir almunir dalam bukunya ketika menulis risalah untuk guru “kami meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan apa kata anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami. Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka”[11]
Pendidikan sebagai proses peniruan tidak lagi dapat ditemui karena yang terjadi dilapangan adalah kebalikannya, guru tidak lagi menjadi uswah karena mereka hanya berfungsi mentransfer pengetahuan kepada peserta didik dan melupakan fungsinya sebagai pendidik. Banyak kasus imoral terjadi di Indonesia ini yang dilakukan oleh oknum guru. System pegawai negri umpamanya, menjadikan guru hanya mengejar gaji dan tidak memperdulikan lagi moral anak didiknya. Bila ditilik lebih lanjut sesungguhnya yang demikian adalah efek pemisahan antara Ilmu dan amal yang terjadi di Negara sekuler. Bahwa bisa saja seseorang sangat intelek dan kaya keilmuan namun prilakunya tidak berkaitan dengan ilmu yang dimilikinya. Ilmu bagi mereka adalah veleu free (bebas nilai) tidak ada sangkut pautnya dengan prilaku sehari hari. Berbeda dengan konsep Islam, syarat seseorang disebut Alim apabila ia memiliki sifat wara’, dalam rijal hadist umpanya, seseorang baru diterima untuk mentransformasikan hadist (pengetahuan) jika ia dhobith dan adil, kepintaran saja tidak cukup ia juga harus berperingai baik, dalam Islam tidak hanya undzur ma qola tetapi juga harus undzur man qola agar proses pendidikan berjalan dengan sempurna.
Maka jika kemudian pendidikan sebagai proses pembiasaan tidak lagi bisa kita temui dalam model sekolahan yang ada di Indonesia, hal tersebut sangat bisa dimaklumi. Bagaimana mungkin seorang guru yang dalam konsep mengajarnya hanya mengejar pelaksanaan tugas yang penting dapat gaji bisa berpikir membiasakan peserta didiknya untuk sholat ke mesjid setiap kali mendengar adzan, padahal pembiasaan adalah factor terpenting untuk menciptakan moral atau akhlak. Anak yang terbiasa pergi ke mesjid setiap kali mendengar adzan akan merasa tidak enak apabila ada adzan kemudian tidak pergi ke mesjid, perasaan yang demikian akan terpatri dalam jiwa anak didik ketika ia telah terbiasa. Dan keterbiasaan itu perlu dilakukan dengan proses pembiasaan.
Problem yang paling mendasar dari Pendidikan yang ada di Indonesia adalah bahwa pendidikan menjadi alat mobilisasi social-ekonomi individu dan Negara. Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari kerihaan Allah. Muhammad abduh (teolog) di Mesir mengeritik hasil-hasil negative dari tujuan pendidikan yang pragmatis, ia menyadari bahwa tujuan pendidikan itu bukan untuk mobilisasi social-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik, lebih lanjut ia menyatakan:
“Pendidikan ini disampaikan (imparted) sehingga murid bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakekat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-ta’lim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalan shaalihan fi nafsih), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya, tidak masuk ke kepala para guru dan orang-orang yang mengangkat guru-guru tersebut”[12]
Kesimpulan dari urian diatas adalah bahwa Pendidik yang berorientasi untuk memobilisasi social ekonomi dan meremehkan filsafat pendidikan yang berusaha membina dan mengembangkan manusia secara fundamental dan komprenhensif sehingga bisa menggantikan pandangan yang berorientasi kemasyarakatan yang pragmatis praktis, paradox dan parsial menjadi usaha yang semu (elusive), terutama ketika semakin merebaknya permasalahan-permasalahan keruhanian, kejiwaan dan kesehatan, yang pada akhirnya malah melemahkan Negara dan masyarakat secara keseluruhan[13]

V. PENUTUP
Konsep Pendidikan yang tepat dalam Islam adalah ta’dib. menurut al-attas struktur ta,dib sudah mencakup unsure-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Fakta bahwasanya pendidikan Nabi Muhammad SAW. Dijadikan Allah sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh al-qur’an yang mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram), teladan yang paling baik. Hal ini kemudian dikonfirmasikan oleh hadis Nabi yang menyatakan bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia: “Innama bu’itstu li-utammima husna al-akhlaq”[14] seseorang yang paling sempurna imannya (akmalu al-mu’minin imanan), menurut Rasulullah Saw adalah orang yang paling baik akhlaknya (ahsanuhum khulqan). Dari sini dapat dipastikan bahwa aktivitas Nabi Saw berupa pengajaran Al-Qur’an (yu’allimu al-Kitab) dan hikmah serta penyucian umat adalah manefistasi langsung dari peranan ta’dib. Berdasarkan konsep tersebut diatas kemudian al-attas mendifinisikan Adab: “adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritualnya[15].
Dengan demikian maka pendidikan yang ideal adalah yang memperhatikan dimensi realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual dari peserta didik dengan seimbang. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat pendidikan yang memenuhui unsur tersebut. Mulai dari guru, lingkungan sekolah dan kesiapan mental peserta didik, serta program-program yang akan dijalankan dari sekolah sebagai lembaga pendidikan tersebut. Namun yang tampak dari model pendidikan yang ada pada sekolah-sekolah di Indonesia adalah sebuah konsep yang absurd rancau dan sangat pragmatis. Sekolah-sekolah didirikan hanya untuk kepentingan ekonomi, sebagaimana yang telah kita bahas dalam makalah ini. sehingga yang lahir dari pendidikan yang ada disekolah kita adalah pendidikan parsial. Ibarat kandungan seorang ibu, maka pendidikan kita adalah pendidikan yang diaborsi sehingga setelah keluar dari rahim yang ada hanya potongan potongan tubuh, pendidikan yang parsial, sepotong potong. Pendidikan semacam ini tidak akan pernah melahirkan sebuah genarasi yang memiliki kepribadian utuh, melainkan kepribadian yang juga sepotong potong. Iqbal mengatkan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk menciptakan manusia. Dan karena pendidikan di Indonesia ini telah diaborsi, maka yang lahir adalah potongan-potongan tubuh manusia, yang sesungguhnya tidak bisa disebut manusia. Oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang ideal untuk melahirkan manusia yang kamplit, sehingga bisa tumbuh dan berkembang. Dan gontor saya kira bisa dijadikan model pendidikan yang ideal tersebut. Wallahu a’lamu bishawab.
[1] Muhammad Ma’ruf CH, “Makalah disampaikan dalam diskusi Fak Tarbiyah Isid Jum’at 16 desember 2008”
[2] Prof. Dr. Imam Suprayogo, “Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam” UIN Malang, cet I 2004, Hal; 13
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan Istac 1998, Mizan cetakan I 2003 Hal; 163
[4] Ibid, hal; 164
[5] Ibid, hal; 166
[6] Abuddin Nata, “Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam” PT grasindo, Jakarta 2001Hal; 83
[7] Ibid, hal: 86
[8] Prof. Dr. Imam Suprayogo, “Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam” UIN Malang, cet I 2004, Hal; 12
[9] Ibid, hal: 14
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan Istac 1998, Mizan cetakan I 2003 Hal; 163
[11] Mahmud Samir Al-Munir, “Guru Teladan dibawah Bimbangan Allah” Gema Insani, Jakarta 2003 cet I terjemahan oleh; Uqinu Attaqi dari bahasa Arab “al-mu’alim arrabbany” hal; 15 - 16
[12] Rahman, Islam and Modernity, hh, 59 - 61
[13] Pada 1984 (New Straits Times, 17 desember 1984) melaporkan bahwa pecandu narkoba di malaysia menghabiskan uang RM 50 juta perbulan untuk membeli narkoba, termasuk heroin. Kerajaan Malaysia baru-baru ini mengatakan antara 1984-1995 telah membelanjakan RM 517 juta untuk program rahabilitasi narkoba, yang diakui ternyata tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Remaja yang mengandung di luar nikah pada 1985 di amerika menghabiskan lebih dari US$ 16 milyar dana pemerintah, sedang sebanyak 100.000 kasus penyakit AIDS yang dilaporkan akan menelan biaya sekitar US$ 6 milyar. Di Indonesia dari angket yang disebar di kab. Tanggerang hampir 80 persen anak sma telah merasakan hubungan badan sebelum nikah, belum lagi maraknya video-vidio porno yang dilakukan oleh anak anak smp dan sma di perbagai wilayah di Indonesia yang direkam melalui kamera handphone hampir tidak bisa dihutung jumlahnya.
[14] Hadis ini ada dalam muwatha’ Imam malik dan musnad Ahmad ibn hanbal
[15] Wan Daud, Op.Cit, Hal; 177




0 comments:

  ©Template by Dicas Blogger.