Tuesday, August 11, 2009

Hidden Kurikulum: Paradigma Pendidikan Pesantren

A. PENDAHULUAN
Kenapa pesantren mampu bertahan hingga saat ini?, mungkin seakan-akan pertanyaan ini hanya mengada-ada, tetapi tidak menutup kemungkinan para peneliti pendidikan pesantren khususnya, juga memiliki pertanyaan yang sama. Sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan islam dalam dunia muslim[1], tidak banyak lembaga pendidikan islam yang mampu untuk bertahan seperti Pesantren. Kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum.
Pesantren telah eksis ditengah masyarakat selama enam abad (mulai abad ke-15 hingga sekarang) dan sejak awal berdirinya, pesantren telah menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta huruf. Disamping itu Pesantren juga pernah menjadi satu-satunya institusi pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam membentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultural literacy)[2]. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi masa depan tentu memliki tujuan, kurikulum, visi dan misi dalam usaha membentuk bangsa yang lebih beradab. Adapun tujuan yang dicanangkan oleh pesantren yaitu pendidikan yang sesuai dengan norma-norma agama islam dan selalu bersifat tafaqquh fi ‘l-diin.
Perkembangan pesantren -dari pesantren salaf (bandongan dan sorogan) sampai pesantren modern- yang sangat pesat hingga saat ini tidaklah lepas dari adanya system pendidikan yang jelas dan kurikulum yang terencana dengan baik. Karena kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, maka perlu adanya perencanaan dalam penerapannya, tanpa adanya kurikulum yang baik dan tepat, akan sulit untuk mencapai semua tujuan dan sasaran pendidikan yang telah dicita-citakan.
Omar Hamalik (1990:56) mengungkapkan perlunya pemikiran-pemikiran yang inovatif dalam aspek kurikulum. mengingat masyarakat yang selalu berubah maka kurikulum pun akan selalu berubah. Berdasarkan pemahamannya, kurikulum dapat dipandang sebagai kurikulum tradisional dan kurikulum secara modern[3]. Karena pesantren mampu eksis hingga saat ini maka pesantren tentu memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri dalam mengolah kurikulum tersebut. Oleh karena itu penulis akan memaparkan kurikulum pesantren modern yang bersifat tersembunyi (the hidden curriculum), sebagai bentuk usaha pesantren mengoptimalkan proses pendidikan islam.

B. KURIKULUM PENDIDIKAN
Pendidikan di Indonesia[4] kurang menyentuh nilai-nilai universal manusia dalam langkah mendidik bangsa yang bermutu tinggi. Sudah 63 tahun indonesia merdeka, tapi usaha untuk mencerdaskan kehidupan rakyat seolah-olah jalan ditempat, dalam satu pihak, perangkat lunak pendidikan, termasuk sistem pendidikan dan kualitas SDM guru dan pengelola, masih tersangkut kebijakan tambal sulam. Dipihak lain, sarana dan prasarana pendidikan masih jauh dari memadai karena anggaran biaya pendidikan sangatlah rendah.
Hal ini mengakibatkan, tingkat aksesibilitas anak negeri terhadap pendidikan yang bermutu sangatlah rendah, sementara, kualitas pembelajaran secara umum tidak kian meningkat karena kesejahteraan guru pun tidak berlangsung membaik, tapi satu hal yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana cara yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan dalam menempuh taraf pendidikan yang lebih memadai seperti meningkatkan cara pengembangan kurikulum dengan baik dan benar.
1. Pengertian kurikulum
Istilah kurikulum[5] berasal dari bahasa Latin yaitu “curriculum”, pada awalnya kurikulum mempunyai pengertian “a running course”, dalam bahasa Perancis yakni “couries” berarti “to run / berlari”. Pada tahun 1955 istilah kurikulum baru digunakan itu pun hanya sebatas dalam bidang olah raga saja, dalam kamus Webster dikatakan yaitu sebagai suatu alat yang membawa orang dari start sampai finish, sedangkan dalam studi kependidikan islam istilah kurikulum menggunakan kata manhaj yang berarti sebagai jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Istilah itu kemudian digunakan untuk sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar penghargaan dalam dunia pendidikan yang dikenal dengan ijazah[6], sebagaimana yang telah banyak dikenal oleh masyarakat kebanyakan.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan komponen-komponen pendidikan dan pengajaran yang sistematis[7]. Para pemikir pendidikan memiliki ragam dalam menentukan jumlah komponen tersebut, sebagaimana Soetopo dan Soemanto (1993:26-38) membagi komponen kurikulum dalam lima komponen yaitu : tujuan, isi dan struktur program, organisasi dan strategi, sarana, dan evaluasi, yang mana digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM) pada sekolah yang bersangkutan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum pendidikan islam bersumber dari tujuan pendidikan islam[8]. Tujuan pendidikan islam memiliki perbedaan yang mendasar dengan tujuan pendidikan lainnya, misalnya tujuan pendidikan menurut paham Pragmatism yang menitik beratkan pada pemanfaatan hidup manusia di dunia, yang telah menjadi standard ukurannya sangat relative dengan bergantung pada kebudayaan atau peradaban manusia. Disamping itu paham pragmatism juga lebih mengedepankan prospek pekerjaan dari pada peningkatan etika beragama.
Pendidikan di Indonesia memiliki rancangan kurikulum yang digunakan sebagai acuan untuk mengatur pendidikan nasional (kurikulum nasional)[9]. Kurikulum nasional disusun sesuai dengan jenjang pendidikannya masing-masing dengan selalu memperhatikan: Peningkatan iman dan takwa, Peningkatan akhlak yang mulia, Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, dan Dinamika perkembangan global.
Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Djojonegoro (1995:2), yaitu ada tiga aspek pengembangan oleh pendidikan nasional, yaitu:
1. Aspek spiritual dan imtaq (keimanan, ketaqwaan, berbudi pekerti luhur)
2. Aspek budaya (kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan)
3. Aspek kecerdasan (cerdas, kreatif, trampil, disiplin, etos kerja, professional, produktif).
dalam konteks pengembangan kurikulum seperti diatas harus selalu memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang bertujuan terbentuknya manusia seutuhnya yang sesuai dengan bimbingan nilai-nilai ilahiyyah[10].
Selain dari pada itu, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum[11], yaitu:
1. Fleksibelitas program, artinya dalam pembuatan program harus memperhatikan kondisi anak dari segi manapun.
2. Berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, tujuan dalam belajar pendidikan islam adalah mendekatkan diri kepada allah swt.
3. Kontinuitas, dalam pembuatan kurikulum harus bersifat berkesinambungan, yaitu, saling adanya keterkaitan antara ilmu yang satu dengan yang lainnya.
Kurikulum tidak hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan saja melainkan juga merupakan tindakan-tindakan yang terjadi tanpa perencanaan terlebih dahulu[12] yang disebut dengan “the hidden curriculum”. Kurikulum tersebut memang tidak terencana tapi memiliki pengaruh yang besar dalam proses pembentukan pribadi seseorang, dalam hal ini lembaga sekolah umum khususnya di Indonesia kurang begitu memperhatikannya, dikarenakan pertemuan tatap muka antara guru dan murid hanya sebatas pembelajaran dikelas saja, yang selanjutnya bukan merupakan tanggung jawab seorang guru lagi. Disinilah sebenarnya letak kurikulum tersembunyi itu. Untuk lebih jelasnya penulis akan membahas tentang kurikulum tersebut.

2. Hidden Curriculum
Kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum) adalah kurikulum yang tidak direncanakan[13]. Hilda Taba mengatakan bahwa “curriculum is a plan for learning”, yaitu aktifitas dan pengalaman anak di sekolah harus direncanakan agar menjadi kurikulum, menurut Nasution (1993:11) kurikulum sebenarnya mencakup pengalaman yang direncanakan tetapi juga yang tidak direncanakan yang disebut dengan “hidden curriculum” seperti, cara anak menjawab, mencontek, sikap terhadap asatidz (guru), disiplin dalam belajar, membina mental diri, dan masih banyak hal lainnya. Dalam hal selanjutnya kurikulum dapat dipandang sebagai “ideal / real” curriculum, “potential / actual”, dan juga disebut hidden curriculum[14].
Diantara macam-macam kurikulum pendidikan adalah kurikulum formal, informal, dan non formal. Kurikulum formal mencakup kegiatan di kelas dan bersifat terencana, Kurikulum non formal terdiri atas aktifitas-aktifitas yang juga direncanakan akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran akademis dikelas, dan keberadaan kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap (suplemen) kurikulum formal. Disamping kurikulum-kurikulum tersebut, terdapat juga kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Kurikulum ini antara lain berupa aturan-aturan tak tertulis dikalangan siswa. Seddan (1983) dalam Print (1995:10) menyatakan bahwa[15]:
“….the hidden curriculum refers to the outcomes, which are not explicitly intended by educators. These outcomes are generally not explicitly intended because they are not stated by teachers in their oral or written list of objectifies, nor are they included in educational statement of in intent such as syllabus, school policy documents or curriculum projects....”.
Hal ini menunjukkan bahwa hidden curriculum tidak direncanakan oleh sekolah dalam menjalankan berbagai programnya serta tidak ditulis dan dibicarakan oleh para pendidik (guru). Kurikulum ini murni usaha anak didik (santri/murid) dalam mengembangkan potensi dalam dirinya baik itu berkonotasi positif maupun negative. Dalam hal ini murid berperan sebagai perencana dan pelaku yang berhak akan masa depan yang dia inginkan, dengan kata lain murid sebagai penentu keberhasilan dalam hidupnya.
Hidden curriculum dapat didefinisikan sebagai kurikulum yang berorientasi masa depan. Sebab bila dikaitkan dengan kurikulum pendidikan islam[16] terdapat kesamaan dalam segi tujuannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Idi yaitu kurikulum pendidikan islam merupakan rencana kegiatan bukan aktivitas. Jadi segala yang dialami oleh anak didik dengan adanya perencanaan terlebih dahulu dan dapat berpengaruh terhadapnya itulah yang dinamakan dengan kurikulum.
Dalam konteks kurikulum ini (hidden curriculum) ada satu lembaga pendidikan yang secara tidak langsung telah melakukannya sejak awal mula berdirinya hingga saat ini dalam lembaga pendidikan islam yaitu Pesantren. Sebagai satu-satunya lembaga pendidikan islam yang tulen / asli milik Indonesia yang mengedepankan pendidikan agama hingga saat ini masih mampu bertahan ditengah-tengah arus globalisasi dan modernisasi pendidikan. Dalam dunia pesantren terdapat manhaj yang lebih memprioritaskan terbentuknya para ulama-ulama masa depan.
Pesantren adalah system pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indigenous[17]. Pada awal mulanya pesantren berbentuk pengajian yang diadakan dirumah kyai yang mana selanjutnya disebut dengan pesantren salafiah, seiring dengan berkembangnya peradaban dunia pada akhirnya terjadilah perubahan menjadi pesantren modern, seperti Pondok Modern Darussalam Gontor, Pondok Pesantren Al-Ishlah Lamongan, Pondok Pesantren Darul Ulum, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk lebih spesifik lagi penulis akan menguraikan tentang pengertian Pesantren Modern dan kurikulum-kurikulumnya yang mana dapat menjadikan pesantren survive hingga saat ini.

C. PESANTREN MODERN
Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Dengan adanya definisi ini maka pesantren kilat atau pesantren ramadhan yang diadakan disekolah-sekolah umum misalnya, tidak termasuk dalam pengertian ini[18]. Dalam bab ini akan dibahas tentang pesantren modern.

1. Pengertian Pesantren Modern
Pesantren berasal dari akar kata “santri”, yang menurut Johns berasal dari bahasa Tamil “satri” yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan menurut C. C. Berg, berasal dari bahasa india “shastri”, yang berarti “buku suci, buku agama atau buku ilmu pengetahuan”. Sedangkan menurut Robson santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” artinya orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan secara umum[19].
Dalam decade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan islamisasi dan re-islamisasi dikalangan umat islam Indonesia. Istilah yang lebih popular untuk mengambarkan kecenderungan tersebut adalah “santrinisasi” yang berasal dari kata “santrinization”-bentuk bahasa Inggris dari istilah Jawa- “santri” yang berarti “mereka yang berasal dari pesantren “, atau disebut juga dengan mereka yang taat menjalankan agama islam[20].
Pondok berarti tempat menumpang sementara, pesantren berarti tempat para santri, sedangkan santri berarti pelajar yang menuntut ilmu agama islam[21]. Di jawa tempat ini disebut “pondok” atau “pesantren” atau “pondok pesantren”. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan pondok atau pesantren , karena keduanya merujuk pada satu pengertian yang sama. Sebutan Pondok Tebuireng, Pondok Termas, Pondok Krapyak, atau Pesantren Tebuireng, Pesantren Termas atau Pesantren Krapyak tidak menunjukkan perbedaan makna.
Secara definitif, KH. Imam Zarkasyi mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam dengan system asrama atau pondok, dimana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya dan pengajaran agama islam sebagai kegiatan utamanya. Maka, kyai, santri, masjid, pondok atau asrama, dan pendidikan agama islam adalah unsur terpenting dalam pesantren[22].
Hingga saat ini pesantren masih disebut-sebut sebagai gudang kitab Al-Dirasah Al-Islamiyah, dan juga sering disebut sebagai pusat kajian islam, disamping sebagai basis dakwah dan pendidikan islam. Disamping itu, lembaga-lembaga pendidikan yang ada saat ini, baik sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda dan pondok pesantren itu sendiri, timpang dalam materi pengajarannya[23]. Yang mana disatu sisi mementingkan materi agamanya (pondok pesantren) dan disisi lain mementingkan materi umumnya (sekolah Belanda). Sehingga pada akhirnya nanti akan terjadi, yang lulus dari sekolah umum tidak tahu akan ilmu agama dan yang sekolah di pesanten kurang tahu tentang ilmu umum, oleh karena itu perlu adanya integrasi pengetahuaan supaya tidak terjadi berat sebelah.
Di negeri muslim, seperti mesir dan india, telah muncul semangat modernisasi lembaga pendidikan yang dianggap tidak lagi mampu merespon perubahan zaman[24]. Modernisasi pendidikan islam dapat dilacak akarnya dalam gagasan mengenai modernisasi pemikiran dan kelembagaan islam secara keseluruhan. Gagasan ini berpijak pada suatu kenyataan bahwa kebangkitan islam di era modern mempersyaratkan adanya modernisasi pendidikan islam, yakni dalam rangka memberdayakan masyarakat muslim dalam menghadapi tantangan dunia modern disegala bidang kehidupan.
Modernisasi pendidikan tradisional islam di Indonesia lahir seiring dengan dikampanyekannya “etische politiec” (politik etik) oleh Belanda. Kebijakan politik pendidikan kolonial itu sesungguhnya diinspirasi oleh Inggris yang ketika itu mencanangkan pendidikan “bumi putra” di bumi-bumi pendudukannya, seperti india, dan juga mesir. Pencanangan politik etik dalam bidang pendidikan ini menghasilkan suatu system pendidikan modern yang menjadi pangkal system pendidikan “umum” di tengah kita sekarang ini, yakni, system pendidikan yang berada dibawah departemen pendidikan nasional.
Salah satu pemikiran modernis Indonesia adalah introspektif atau kritis kedalam, namun mereka (pemikir modernis) sering juga melakukan cara “shock terapy” atau kejutan[25]. Kejutan tersebut adalah berupa tindakan pengajaran secara spontanitas yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan, pengajaran dipondok pesantren modern menggunakan system klasikal, sebagaimana diterapkan di sekolah-sekolah umum atau madrasah-madrasah. Dengan meninggalkan system sorogan ala pesantren tradisional, pesantren modern melakukan alat bantu kapur dan papan tulis, guru pun mengajar dengan berdasi dan berpantalon. Inilah yang disebut dengan cara yang berciri modern.
Sama halnya dengan penggunaan bahasa dalam pembelajaran pesantren modern, yang mana sangatlah penting digunakan untuk memahami berbagai jenis kitab yang berbahasa asing (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris) bukan hanya kitab-kitab kuning (klasik). Demikian pula dengan pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan dengan metode Berlitz, dalam pesantren modern para santri diajari bagaimana cara untuk dapat berbicara secara aktif dalam Bahasa Inggris disamping membaca dan menulis.
Adapun hal-hal yang bersifat modern selain yang telah disebutkan diatas, yaitu[26]:
1. Cara berpakaian ketika masuk kelas, tapi mesti pakai sepatu serta kemeja dimasukkan.
2. Keadaan kelas diatur secara rapi.
3. Disiplin dalam masuk kelas.
4. Bertingkah sopan santun.
5. Meninggalkan tingkah laku pondok yang kurang baik.
6. Bahasa asing sebagai bahasa interaksi dan sebagai bahasa pengantar mengajar.

2. Kurikulum Pesantren Modern
“Education is the best means of creating a new generation of young men and woman who will not lose touch with their own tradition but who will not at the same time become intellectually retarded or educationally backward or unaware of developments in any branch of human knowledge. Unfortunately such a system of educaton is not yet prevalent in any of the muslim countries”. (Husayn And Ashraf, 1979:16)
Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, disamping faktor-faktor lainnya, yaitu: adanya pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Oleh Hiroko Horokhosi, yang melihat pesantren kemudian merumuskan tentang tujuan terbentuknya dari segi otonomi, yakni pesantren bertujuan untuk melatih para santri memiliki kemandirian, berbeda dengan Manfred Ziemek yang merumuskan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan[27].
Kurikulum bukanlah sekedar susunan mata pelajaran didalam kelas, tetapi merupakan seluruh program pendidikan baik yang terencana maupun yang tidak direncanakan (hidden curriculum). Ini menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran dipesantren modern bukanlah tujuan yang berdiri sendiri, melainkan dipersatukan secara integral dengan tujuan pendidikan pesantren secara keseluruhan, tujuan pesantren pada umumnya yaitu mencetak ulama’ yang intelek bukan intelek yang sekedar tahu agama, disamping itu pesantren juga bertujuan membentuk manusia yang alim, shaleh dan berguna untuk masyarakat dan bangsa.
Dalam seluruh bentuk kegiatan di pondok modern yang bersistem madrasah dan berjiwa pesantren ini saling terkait dan saling mendukung, sebagaimana “prinsip integrasi”[28] yaitu “semua yang ada dipondok ini sengaja diciptakan untuk pendidikan”. Begitu juga dengan “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah” (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai yang baru yang lebih baik).
Mengutip dari ungkapan KH. Imam Zarkasyi[29], pondok atau pesantren adalah tempat menggembleng bibit umat. Ini terjadi sejak 1000 tahun yang lalu, baik di Indonesia maupun diluar Indonesia, maka dari itu, tempat pendidikan pemuda-pemuda yang berupa pondok ini sudah ada di Indonesia sebelum adanya sekolah-sekolah ala Barat, untuk itu pendidikan di pondok itulah yang sebenarnya disebut dengan pendidikan Nasional, yang tulen atau pure national.
Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh lembaga pesantren adalah dari segi penerapan system asrama. Asrama memberikan berbagai manfaat antara lain: interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan control terhadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu, menimbulkan stimulus/rangsangan belajar dan memberi kesempatan dalam pembiasaan[30].
a. Isi kurikulum
Kurikulum pesantren modern bersifat aksademik, yang dibagi menjadi beberapa bidang studi. Yakni, pertama, Bahasa Arab, meliputi, Al-Imla’, Al-Insya’, Tamrin Al-Lughah, Al-Muthalla’ah, Al-Nahwu, Al-Sharf, Al-Balaghah, Tarikh Al-Adab, Dan Al-Khatt Al-Arabi, yang mana semuanya itu disampaikan dengan menggunakan Bahasa Arab. Kedua, Diratsah Islamiyah, yang meliputi, Al-Qur’an, Al-Tajwid, Al-Tauhid, Al-Tafsir, Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits, Al-Fiqh, Ushul Al-Fiqh, Al-Fara’id, Tarikh Al-Islam. Ketiga, Bahasa Inggris, meliputi, Reading and Comprehension, Grammer, Composition, dan Dictation. Keempat, Ilmu Pasti mencakup Berhitung dan Matematika, Kelima, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Yang menonjol dari hal kurikulum ini adalah seperti pemahaman pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor (KH. Imam Zarkasyi) terhadap konsep ilmu. Ia menangkap bahwa islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum[31]. Maka dalam menggambarkan porsi materi pelajaran dalam kurikulum pesantren modern yang diterapkannya [KMI], ia menyatakan 100% agama dan 100% umum. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan umum itu sebenarnya adalah bagian dari ilmu pengetahuan agama, dan sama pentingnya, latar belakang pemikirannya ini berangkat dari kenyataan bahwa sebab terpenting kemunduran umat islam adalah kurangnya ilmu pengetahuan umum pada diri mereka.
Tidak banyak lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum seperti yang disebutkan diatas. Lain dari pada itu maraknya pendidikan yang hanya mengambil setengah kurikulum agama dan setengah kurikulum umum kemudian diterapkan dalam sekolah-sekolah yang pada akhirnya dapat menimbulkan disintegrasi pendidikan.
Adapun pandangan pendidikan dalam lembaga lain seperti kebanyakan diterapkan pada saat ini yaitu[32]:
• Madrasah dengan 70% kurikulum pesantren + 30% kurikulum sekolah umum.
• Sekolah islam dengan 30% kurikulum pesantren + 70% kurikulum sekolah umum.

b. Strategi kurikulum
Pembahasan ini meliputi, Metode, Kaidah-Kaidah, Langkah-Langkah, Evaluasi, dan Supervise dalam pengajaran. Pertama, Metode adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan pelajaran seperti, metode ceramah, latihan, tanya jawab, penugasan, dan praktek. Sebagaimana falsafah Pondok Modern Darussalam Gontor : “al-kalimah al-wahidah fi alfi jumlah khoirun min alfi kalimah fi jumlatin wahidah” yang artinya, “mengetahui satu kata dan mampu meletakkan dalam seribu kalimat sempurna, lebih baik dari pada mengetahui seribu kata, tetapi hanya dapat meletakkannya masing-masing dalam satu kalimat sempurna”. Kedua, Kaidah pembelajaran kurikulum. Yang mana dalam memberi materi harus dimulai dari materi yang mudah dan sederhana. Ketiga, Langkah-langkah mengajar, yang meliputi sebelum dan sedang mengajar. Kelima, Evaluasi, evaluasi digunakan sebagai sarana perbaikan dan koreksi untuk yang lebih baik.

c. Penerapan Profesionalisme dalam Pesantren Modern
I. Pengertian profesionalisme
Untuk meningkatkan mutu pendidikan memerlukan sekurang-kurangnya dua syarat yang tidak boleh tidak dipenuhi, pertama, penguasaan teori pendidikan modern, yaitu teori yang islami dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, ketersediaan dana yang cukup[34]. Pesantren sebagai lembaga yang memiliki kurikulum pendidikan haruslah menguasai dan juga mampu mengaplikasikan teori pendidikan dalam mendidik santri.
Salah satu bentuk teori islami adalah profesionalisme seorang guru / asatidz. (Dr. Ahmad Tafsir.113). Yakni kemampuan para pengajar (asatidz / asatidzah) dalam megaplikasikan suatu kurikulum yang telah tersusun. Dalam lingkungan pesantren khususnya pesantren modern sudah banyak yang menerapkannya, seperti dalam Pondok Modern Darussalam Gontor ketika memilih pengajar terlebih dahulu untuk memenuhi kwalifikasi yang diperlukan, baik dari segi dzikir maupun pikir[35], supaya meteri yang ada dapat dijabarkan secara menyeluruh.
Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjutan dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang bermanfaat, dalam aplikasinya menyangkut aspek-aspek yang lebih bersifat mental daripada yang bersifat manual work[36]. Orang yang profesional adalah orang yang memilliki profesi. Sedangkan profesi itu sendiri ialah merupakan panggilan hidup dan keahlian, seperti yang dikatakan oleh Waterink. Guru yang profesional adalah guru yang sadar akan menjadi pendidik dan memiliki dasar utama yaitu, "Rouping" atau panggilan hati nurani[37].
Suatu bidang disebut profesi apabila memiliki cirri-ciri yakni "dedikasi" dan "keahlian". Menurut Mukhtar Luthfi dari Universitas Riau (lihat mimbar,3,1984:44), seorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) memiliki keahlian, 2) merasa bahwa itu adalah merupakan panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu, 3) siap mengabdi untuk masyarakat bukan untuk diri sendiri, 4) memiliki anak didik yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan. Dari kriteria-kriteria diatas jelaslah bahwa profesionalisme seorang guru tidak dapat dianggap remeh dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
II. Guru Atau Pengasuh
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Yang mana terdapat guru sebagai pengajar atau pendidik dan siswa sebagai objek yang memerlukan pendidikan untuk berkembang lebih maju. Dalam hal pesantren pendidik dinamakan dengan pengasuh atau asatidz / asatidzah sedangkan murid adalah santri-santri yang siap mendapatkan pendidikan dalam lingkungan asrama.
Pengertian yang terkandung dalam istilah "guru" dalam situasi yang tidak resmi adalah orang yang dalam dirinya memiliki atau dapat mewujudkan pengetahuan tertentu, baik keterampilan atau keyakinan[38]. Seorang guru baik pria maupun wanita dipandang sebagai manusia yang memikul tanggung jawab profesi penuh atas pendidikan anak-anak dan kaum remaja yang sedang menuntut ilmu di bangku sekolah[39]. Guru memang memiliki peran penting dalam proses belajar mengajar, sebab tanpa adanya guru, murid akan enggan untuk belajar di lingkungan sekolah atau pesantren.
Proses belajar mengajar memiliki tujuan ideal yaitu agar bahan yang dipelajari dapat dikuasai sepenuhnya oleh murid. Hal seperti ini disebut dengan "mastery learning" atau belajar tuntas, artinya penguasaan penuh. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila guru mampu meninggalkan kurva normal sebagai patokan keberhasilan mengajar[40], sebagaimana tugas guru yaitu menciptakan suasana dan fasilitas yang sebaik-baiknya agar proses belajar dapat dilaksanakan dengan baik[41]. Seorang guru hendaknya dapat memahami setiap perilaku siswa karena itu akan lebih memudakan dalam proses mengajar, tetapi saat ini kebanyakan guru hanya memperhatikan materi pembelajaran yang cocok untuk diberikan kepada siswa bukan memikirkan bagaimana metode penyampaian yang tepat kepada siswa.
Dalam konsep guru ini pesantren modern lebih sering menyebutnya sebagai pengasuh atau asatidz. Selain itu pesantren modern seperti PMDG juga memiliki falsafah:
الطريقة أهم من المادة ...والأستاذ أهم من الطريقة ...وروح الأستاذ أهم.
“metode itu lebih penting dari pada materi, dan guru lebih penting dari pada metode, tapi yang paling penting adalah jiwa pengajar itu sendiri”. Disinilah keserasian antara konsep Weterink dengan konsep pesantren modern, seperti yang disebutkan diatas yaitu pengasuh harus memiliki dasar utama yang dinamakan dengan “rouping” atau kesadaran diri, hal inilah yang disebut dengan ‘jiwa mudarris’.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya 'Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam' yaitu, untuk menguasai pemikiran manusia, kuasailah sekolah. Sebab karena inilah yang menjadi bahaya apabila orang islam menyekolahkan anaknya ke sekolahan katolik, begitu juga dengan sebaliknya. Dari sinilah guru harus benar-benar memahami peranannya sebagai seorang pendidik atau pengasuh bukan sekedar sebagai pengajar, dengan adanya pendidikan di pesantren akan dapat mempermudah dalam proses mencerdaskan ummat, oleh karena itu untuk menjadi seorang pemgasuh haruslah cakap dan berkepribadian baik.
Mengutip dari Ahmadu Bello University di Nigeria yang menerapkan cara pendekatan supaya dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Pada tahun 1972 telah diperkenalkan pendidikan yang terdiri dari tiga bagian, tahap pertama, meliputi persiapan profesi selama sepuluh minggu untuk mengikuti kuliah diperguruan tinggi. Tahap kedua, satu tahun penuh mengajar di sekolah dan selama itu para mahasiswa selalu mendapat pengawasan tapi mempunyai status dan kondisi sebagai guru biasa. Dan tahap ketiga, kursus sepuluh mingu di Universitas untuk memperoleh ijaza selama lima belas bulan setelah pendaftaran pertama[42].
Guru yang berkompeten adalah guru yang mahir dalam bidangnya masing-masing. Untuk saat ini, yang dibutuhkan bukanlah guru-guru yang memiliki sertifikat banyak atau seorang sarjana, tetapi alangkah baiknya jika seorang guru itu paham akan profesinya sebagai guru dan benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan sebagai guru dalam mendidik siswa yang sedang berkembang[43], yang mana diperlukan tenaga ahli yang dapat mengerti dan memahami tingkah laku siswa tersebut.
Orang tua disebut juga sebagai guru, bahkan orang tua itulah yang harus lebih profesional dalam mendidik, orang tua harus dapat menanamkan jiwa yang baik dalam diri anak sejak pertama ia lahir hingga remaja. Seperti yang diungkapkan oleh Bijau, "Banyak ahli psikologi anak yang mengatakan bahwa tahun-tahun prasekolah, sekitar dua sampai lima tahun adalah salah satu tahapan yang penting"[44], ini menandakan, sebelum seorang anak dibawa ke bangku sekolah orang tua harus lebih dulu mendidiknya guna menjadikan anak tersebut berpendidikan yang lebih baik. Dalam pesantren peranan orang tua digantikan oleh para pengasuh karena pesantren bersifat asrama.

D. PENUTUP
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan, secara garis besar, ada tiga hal yang menjadikan pondok pesantren tetap istiqomah dan konsisten. Aspek pertama, yaitu, nilai, system, dan materi pendidikan pondok pesantren. Nilai-nilai pondok terletak pada jiwa pondok itu sendiri sehingga dapat mencerminkan hakikat pondok tersebut. Aspek kedua adalah system asrama yang penuh dengan disiplin. System asrama ini mendukung terciptanya keterpaduan tripusat pendidikan: pendidikan sekolah (formal), pendidikan keluarga (informal), dan pendidikan masyarakat (nonformal). Aspek ketiga adalah materi, materi yang ada dalam pondok pesantren adalah mempresentasikan kurikulum yang ada, yaitu, kurikulum yang merupakan perpaduan antara ilmu agama (revealed knowledge) dan kawniyah (acquired knowledge). Jadi dalam pesantren telah terjadi intregasi ilmu. Disamping itu adanya hidden curriculum yang diterapkan oleh masing-masing santri juga dapat menunjang mutu pendidikan mereka,
Selain dari pada itu, dalam proses pengembangan pendidikan, pesantren lebih mengedepankan pendidikannya ke arah tujuan pokok pendidikan pesantren, yaitu “Tafaqquh Fi ad-Diin”, dengan mengedepankan uswatun hasanah, pendidikan mental, attitude, dan disiplin, guna mencetak ulama’ yang intelek dan tokoh masyarakat dengan menerapkan system belajar yang efektif dan efesien.

E. DAFTAR PUSTAKA

A, M, Sudirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet.VII.
Amir Feisal, Prof. Dr, Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Djohar, H, Ms, Prof, Dr, Pendidikan Strategic, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2003.
Goble, Norman, M, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
Hurlock, Elizabeth, B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1991, Edisi V.
Idi, M.Ed, Drs, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik, Jakarta: Gaya Media, 1999.
Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996,
Madjid, Nurkholish, Dr, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. VII.
Mastuhu, M. Me, Prof, Dr, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.
Nasution, MA, Prof, Dr, Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nasution, MA, Prof, Dr, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, Cet. IV
Noman. M, Goble, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
Prof. Dr. Mujamil Qomar, M. Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Isntitusi, Jakarta: Erlangga, 2005.
Rahim, Dr, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Rahmat. Prof. Dr, Jalaluddin, Et. Al, Prof. Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. II.
Tafsr, Dr. Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet.VII.
Tilaar, H. A. R., M, Sc, Ed, Prof, Dr, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000, Cet. I.
Zarkasyi, MA, K.H. Abdullah Syukri, Manajemen Pesantren, Pengalaman Pesantren Pondok Modern Gontor, Gontor: Trimurti Press, 2005, Cet. II
Zarkasyi, MA, K.H. Abdullah Syukri,, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005.

Endnote
[1] Munculnya modernisme islam, didorong adanya kesadaran akan kemunduran umat islam yang disebabkan oleh semakin banyaknya orang yang meninggalkan ajaran utamanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), (Mukti Ali), oleh karena itu ajakan modernisme islam yang paling lantang adalah “mari kita kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah semurni-murninya”. (Jalaluddin Rahmat, Prof. Dr. Nurcholish Majid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. III, Hal.22)
[2] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M. Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Isntitusi, Jakarta: Erlangga, 2005.
[3] Secara tradisional, kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Menurut Nasution (1993:9), kurikulum tradisional seperti ini masih banyak dipakai sampai sekarang. Secara modern, kurikulum mempunyai pengertian tidak hanya sebatas mata pelajaran (course) tapi menyangkut pengalaman-pengalaman diluar sekolah sebagai kegiatan pendidikan juga. (Drs. Abdullah Idi, M. Ed, Pembangunan Kurikulum, Teori dan Praktek, Jakarta: Gaya Media, 1999, Cet. I, Hal. 4)
[4] Pendidikan di Indonesia difahami sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang System Pendidikan Nasional, Pasal 1, No.1)
[5] Dalam bahasa Yunani kurikulum diartikan sebagai “jarak yang harus ditempuh oleh pelari”. sehingga kurikulum dalam pendidikan dapat diartikan sebagai sejumlah pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan oleh anak didik. (K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M, A, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada, 2005, Hal 78)
[6] Drs. Abdullah Idi, M, Ed, op. cit. Hal.3-4
[7] K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren, Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005, Hal. 141
[8] Dasar kehidupan adalah pandangan hidup, T.S. Elit (lihat Du Bois,1979:14) menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu tujuannya harus diambil dari pandangan hidup. Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan islam adalah membentuk manusia yang baik, Marimba (1964:39) berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya kepribadian muslim, menurut Al-Abrasyi (1974:15) tujuan akhir pendidikan islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Dengan mengutip surat At-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia, jadi menurut islam pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi hamba yang selalu beribadah kepada allah SWT. (Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII, hal.46)
[9] Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan dengan prinsip diverifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (UU RI.No.20, tahun 2003, bab X, pasal, 36)
[10] Prof. Dr. Ahmadi, Ideology Pendidikan Islam:Paradigma Humanism-Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
[11] K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M, A, op.cit, hal. 81-82
[12] bahwa tujuan terbesar bukanlah pengetahuan melainkan tindakan. (Herbert Spenser, Sosiolog Inggris, 1820-1950)
[13] Drs. Abdullah Idi, M, Ed, op. cit. hal. 10.
[14] Prof. Dr. S. Nasution, M.A, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, Cet. IV, Hal. 1.
[15] Drs. Abdullah Idi, M, Ed, op. cit, hal. 6.
[16] Kurikulum pendidikan islam mengandung makna sebagai suatu rangkaian program yang mengrahkan kegiatan belajar mengajar yang terencana dengan sistematis dan berarah tujuan, dalam definisi luas, maka kurikulum pendidikan islam berisikan materi yang untuk pendidikan seumur hidup (long life education). Ibid, hal. 117.
[17] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M, Ag, op. cit, hal.82
[18] Ibid, hal, 2
[19] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1984, Hal.18) dalam KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Ma, Op. Cit, Hal.59
[20] istilah “santri dan “abangan”, serta “priyayi”-elite birokrasi jawa kuno-dipopulerkan oleh Clifford Geertz melalui karyanya religion of java (New York: Free Press, 1960). Prof. Dr. Azzumardi Azra, M, A, Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millennium Baru, Ciputat: Logos, 1999, Hal. 69
[21] K.H. Imam Zarkasyi, teks sambutan dalam acara pertemuan silaturrahmi halal bi halal IKPM cabang Jakarta, 1984.
[22] KH. Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996, Hal. 56.
[23] Manajemen pesantren, op.cit, hal. 51
[24] Ibid, hal, 46.
[25] lihat, M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia, dalam buku Islam Dan Benturan Antar Peradaban Karya Dr. Zubaidi, M, Ag, M. Pd, Hal. 155.
[26] dalam buku K.H. Imam zarkasyi dimata umat
[27] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M, Ag, op. cit, hal. 4
[28] KH. Imam Zarkasyi, teks sambutan dalam acara pertemuan silaturrahmi halal bi halal IKPM cabang Jakarta, Jakarta, 1984, dari Gontor merintis pesantren modern, op. cit, hal. 67
[29] Pidato Pj. Rector Pada Pembukaan Perguruan Tinggi Darussalam, 1963, Dalam buku Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, op. cit, Hal. 43.
[30] Prof. Dr.Mujamil Qomar, M, Ag, op .cit, Hal. 83]
[31] dari Gontor merintis pesantren modern, op. cit, hal. 51.
[32] Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Hal, 184.
[33] Fakultas Tarbiyah, At-Ta’dib, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3 No. 2, Gontor, Sya’ban 1428,
[34] Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. VII, Hal. 107.
[35] Hamid Fahmi Zarkasyi, Mohd. Fauzi Hamat, Metodologi Pengkajian Islam, Pengalaman Indonesia-Malaysia, Surabaya: Institute Studi Islam Darussalam, 2008, Hal. 351.
[36] Sudirman, A, M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.VII, 2000, Hal. 131.
[37] Ibid, hal. 135.
[38] Guru juga biasanya memberikan penilaian suatu tindakan terpuji ila bila suatu pengetahuan itu disebarkan juga kepada orang lain. Norman, M, Goble, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983, hal.45
[39] Ibid, hal.108.
[40] Prof. Dr. S. Nasution, MA, Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,1995, Hal. 36

[42] Para calon harus mengikuti tiga komponen yang terpisah, yaitu: teori, praktek, mengajar dan studi riset. Noman. M, Goble, Perubahan Peranan Guru, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983, hal.164
[43] Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Van dan Daele "perkembangan berarti perubahan secara kualitatif". Ini berarti perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dari bentuk struktur dan fungsi yang kompleks. Elizabeth, B, Hurlock, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1991, Edisi V, Hal. 2
[44] Periode itu adalah periode dimana diletakkan dasar struktur perilaku yang kompleks yang dibentuk dalam kehidupan seorang anak. Ibid, hal.5-6

0 comments:

  ©Template by Dicas Blogger.